Monday, March 21, 2011

Ya Allah, Aku Ingin Sidangku Besok Saja

(ini curhatan di kala rindu ngblog padahal harus belajar untuk sidang skripsiku :P)

Ya Allah aku ingin sidang besok saja..
agar bisa kutunjukkan pada dunia bahwa aku bukan cuma bisa belajar untuk sidang saja
aku bisa menulisi blogku lagi seperti yang senpai lakukan..

Kini kusadari ya Allah

bahwa senpai benar-benar virus yang membahayakan

Ya Allah rasanya aku ingin sidang besok saja..

karena aku rindu pada blogku..
rindu mewarnainya dengan goresan penaku..

Ya Allah aku ingin sekali sidangku itu besok saja..

agar aku bisa fokus membalasi satu per satu komen yang terukir di sana..
jumlahnya ternyata bukan cuma satu dua saja...

Ya Allah aku benar-benar ingin sidangku diadakan besok..

ini semua gara-gara senpai..
berilah pelajaran baginya agar ia mikir-mikir lagi kalo ingin menuluarkan virusnya..

Kini kusadari Ya Allah

bahwa aku harus belajar dulu..
see you my blog :(
[Ayo Lanjutkan]

Bukan Putri Salju dan 7 Kurcaci


Prolog
Kisah berikut ini hanyalah fiksi semata. Kesamaan judul, sifat, karakter, tempat, dan waktu peristiwa hanyalah kebetulan semata-mata yang dibuat-buat, harap tidak dimasukkan ke dalam hati. Kisah ini di-publish tanpa bermaksud apapun, semata-mata atas dasar keisengan penulis yang memang sedang gila2nya menulis. Maafkan atas segala ke-ngawur-an dan ke-jayus-an. Maklum karena penulis sedang belajar. Terimakasih untuk seseorang yang telah memberi inspirasi. Segala saran dan kritik yang membangun siap ditampung.

Kisah
Alkisah di suatu desa di Osaka, Jepang, hiduplah seorang putri. Dia bukanlah seorang putri raja, tapi namanya memang Putri. Gadis ini asli Indonesia meskipun lahir dan besar di Osaka. Dia sangat menyukai salju oleh karena itu ia dipanggil Putri Salju.

Putri adalah gadis yang baik hati dan ramah, tak heran banyak orang dan bukan orang yang menyukainya. Dia punya 7 sahabat yang kesemuanya adalah orang-orang luar biasa: partner PWC, model baju muslimah, pembawa berita tv no. 1 di Jepang, bintang dorama, astronot, kepala polisi, dan dokter gigi. Sayangnya ini bukan kisah mengenai sahabat-sahabatnya. Tapi ini adalah kisah mengenai Putri Salju dan 7 pria yang ada di dekatnya selama hidupnya. Kisah Putri Salju dengan ketujuh pria ini sungguh menimbulkan banyak duka dan air mata yang patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Simak baik-baik kisah ini.

Putri Salju pertama kali dekat dengan pria adalah saat ia masih duduk di bangku SMP, yakni kawan dekatnya yang bernama Takashi Kashiwabara. Cowok ini sangat tampan, baik hati, dan perhatian pada Putri. Mereka tetap berteman baik meski tidak lagi bersama-sama saat SMA dan kuliah. Saking perhatiannya, tak peduli telah berapa lama waktu berlalu, Takashi masih mengingat persis tas yang pernah dipakai Putri saat SMP. Takashi mengingat dengan persis warnanya, bentuknya, atau bahkan bagian tasnya yang bolong. Semua perhatian dari Takashi tak urung membuat Putri luluh dan mengaguminya. Tapi ia tidak pernah menceritakan perasaan itu kepada Takashi. Putri hanya berani mengungkapkannya ke sahabatnya yang tak pernah menolak telepon Putri sepanjang malam.

Pria kedua adalah kawannya di SMA, bernama Kotaro. Dia tampan dan cerdas luar biasa. Menurut Putri, Kotaro adalah orang yang ter-update dalam segala hal. Mereka sempat tidak saling menghubungi untuk beberapa waktu sejak lulus SMA, saling kehilangan kontak. Namun, suatu hari, tanpa diduga-duga, mereka bertemu kembali di suatu acara walimah kawan SMA mereka. Keduanya amat gembira bisa bertemu kembali dan Putri semakin kagum karena Kotaro mulai merintis karirnya sebagai orang sukses, meskipun saat itu mereka berdua masih sama-sama kuliah S1. Sejak pertemuan itu, mereka terus saling berhubungan, baik melalui sms, ym, atau fesbuk. Tanpa Putri tahu, Kotaro selalu berharap agar kawan2 SMA mereka cepat2 menikah agar banyak acara walimah yang dapat mempertemukan mereka (maksa banget).

Pria selanjutnya adalah kawan satu angkatan Putri di masa kuliah. Mereka satu organisasi. Tanpa Putri sadari, Chiba, kawannya itu, memendam rasa kepadanya. Cowok itu telah berusaha menunjukkan perasaannya dengan selalu menyetujui pendapat Putri di setiap rapat. Sahabat-sahabat Putri pun sudah menjelaskan Putri akan maksud dari setiap tindakan Chiba ke Putri, tapi Putri bersikeras dan menganggap itu semua biasa-biasa saja. Malang sekali nasih Chiba.

Yang keempat. Dia adalah kawan sekelas Putri di suatu mata kuliah. Namnya Naoki. Dia tampan dan nampaknya menjadi pujaan sebagian besar gadis-gadis di kampus. Putri terkesima begitu cowok itu menghampirinya di kelas di saat Putri merasa kesepian karena tidak ada satupun sahabatnya yang satu kelas dengannya. Sejak hari itu, mereka mulai dekat.

Pria kelima masih satu kampus dengan Putri. Putri mengenal pria ini secara kebetulan di suatu acara di kampus. Hiroki, pria itu, menghampiri Putri yang tengah bersenda gurau dengan sahabat-sahabatnya, hanya untuk menanyakan lagu yang sedang diputar di ruangan tersebut. Karena terkesima dengan ketampanan Hiroki, Putri bahkan tidak mampu memperkenalkan diri atau bahkan berbincang-bincang dengannya. Putri hanya mampu mengagumi cowok itu dari jauh setiap harinya.

Selanjutnya adalah kisah pria keenam, yakni Shota. Putri baru mengenal Shota begitu lulus kuliah. Mereka aktif di organisasi sosial yang sama. Awalnya mereka berkenalan di dunia maya, dan Putri selalu dibuat kagum dengan topik-topik cerdas yang disampaikan oleh Shota. Begitu mereka bertemu pertama kalinya di acara organisasi, mereka saling mengagumi satu sama lain. Hubungan mereka pun mulai dekat.

(Kisah mengenai pria ketujuh akan tiba di akhir kisah ini. Harap bersabar.)

Tragedi dimulai saat ada reuni SMP. Takashi dan Putri berkumpul bersama beberapa teman dekat mereka saat SMP. Saat itu, Takashi mengisahkan kawannya yang ingin segera menikah dan sedang mencari gadis yang tepat. Entah jin apa yang merasuki Putri, malam harinya dia mengirimkan sms kepada Takashi dan mengatakan bahwa dia siap dikenalkan dengan kawan Takashi. Mungkin Putri nekat berbuat begitu karena merasa sudah siap menikah dan nelangsa karena selama ini belum ada pria baik-baik yang mencoba melamarnya. Takashi yang cemburu hanya bisa membalas sms Putri dengan marah, mengatakan bahwa Putri masih kekanak-kanakan dan belum siap menikah. Putri tidak terima dan hubungan mereka mulai meregang. Sejak itu, Takashi berhenti berharap dan akhirnya berusaha melupakan Putri dengan mulai menjajal kemampuan aktingnya. Konon, drama televisi yang paling sukses dibintanginya adalah Itazura Na Kiss.

Gagal melakukan penjajakan baik dengan kawan Takashi maupun Takashi sendiri, Putri berpaling pada Kotaro. Namun ternyata Kotaro juga tengah berusaha melupakan Putri karena merasa selama ini banyak pria lain di sekitar Putri yang lebih pantas untuk gadis itu. Kotaro memilih pergi ke Korea dan mengganti namanya menjadi Son Hyung Suk. Dia menyutradai serial televisi terkenal di mana tokoh utamanya adalah seorang arsitek, persis dengan cita-citanya dulu yang kini telah ia lupakan.

Putri tidak menyerah meskipun ia sempat menyesal tidak pernah berusaha mengenal Hiroki dan Naoki lebih baik. Kini, di saat ia sedang mencari pendamping hidup, ia tidak dapat mengubungi keduanya untuk mencari tahu apakah mereka cocok untuknya. Namun, di tengah keputusasaannya, dia teringat pada Chiba dan bagaimana menurut teman-temanya cowok itu memendam hati untuknya. Sayangnya, Chiba telah sejak lama memutuskan menjadi pejuang di Palestina demi mengubur luka akibat ketidakpedulian Putri pada perasaannya.

Putri menceritakan kesedihannya pada Shota, bagaimana kawan-kawan prianya telah sibuk dengan urusannya masing-masing. Malangnya Putri, ternyata Shota tidak suka dijadikan pilihan terakhir. Dia mengganti akunnya di fesbuk, ym, dan tak lupa mengganti nomor handphone-nya semata-mata agar Putri tidak dapat menghubunginya lagi. Kini, jika ia merindukan Shota, Putri hanya dapat mendengarkan suara Shota saat ia mengisi suatu acara rutin di radio.

Akhirnya, Putri menerima keputusan orangtuanya yang menjodohkannya dengan aktor asal Korea yang juga seorang vokalis grup, Kim Hyun-Joong. Ironis sekali mengingat Putri membenci hal yang berbau Korea sejak pasangan kucing betina miliknya tewas ditabrak mobil yang dikendarai oleh seorang pria Korea. Sejak itu, kucing betinanya hidup sebatang kara. Hyun-Joong merupakan pria ketujuh.

Pelajaran
Janganlah plan-plin soal hati. Tetapkan satu pilihan dan berhenti mengumbar pesona untuk yang lain. Haha. Jangan biarkan kucing peliharaan berkeliaran, apalagi kalau kucing anda tidak bisa tersenyum dan bikin orang lain sebal.

[Ayo Lanjutkan]

Sunday, March 20, 2011

Annual Gathering: Isi Ulang Semangatmu dalam Meraih Mimpi

Maryam
S1 Akuntansi – ABFI Institute Perbanas Jakarta
Penerima Beasiwa CIMB Niaga Batch II

(tulisan ini dimuat dalam CIMB Newsletter)

Kami, para penerima beasiswa S1 CIMB Niaga, punya acara istimewa setiap tahunnya, yakni Annual Gathering. Dengan tema “Raih Masa Depan Anda dengan Beasiswa CIMB Niaga. Your Future. Faster“, tahun ini untuk kedua kalinya Annual Gathering diadakan di Learning Center Bumi Niaga di Gunung Geulis, pada jumat-minggu tanggal 16 sampai 18 Juli 2010. Seperti namanya, tempat ini memang benar-benar ‘geulis’ alias cantik. Desain interior dan eksteriornya sungguh sedap di pandang mata. Hijau rumput membentang luas dan warna-warni aneka tumbuhan mengisi setiap sudut. Tak heran jika para peserta dari Batch IV atau angkatan 2009 yang baru pertama kali ikut serta dalam acara ini terkagum-kagum mengamati sekeliling begitu sampai di sana. Konon, mereka-lah yang paling kurang tidur selama 3 hari 2 malam di Gugel –akronim dari Gunung Geulis– karena sebagian besar waktu kosong mereka manfaatkan untuk meng-explore si bumi niaga.

Ini bungalow kami...

Pendapat saya ini setidaknya dibuktikan oleh dua hal. Pertama, kesan yang disampaikan oleh seorang peserta dari Batch IV begitu ditanyakan oleh pembawa acara pada saat acara penutupan mengenai Annual Gathering pertama mereka. Mahasiswa UGM tersebut mengatakan ‘Tempatnya cakep, teman-temannya juga cakep’. Benar sekali, saya setuju dengan dia. Bukti kedua adalah teman sekamar saya selama di sana. Saya satu kamar dengan mahasiswi angkatan 2008 yang kuliah di Unibraw dan seorang lagi angkatan 2009 yang berkuliah di UGM. Di antara kami, si mahasiswi angkatan 2009-lah yang selalu kembali ke kamar paling akhir tetapi keluar dari kamar paling awal.

Fasilitas Gugel memang oke punya. Tersedia kolam renang, lapangan tenis, lapangan futsal, lapangan bola basket, fitness center, ruang karaoke, bioskop mini, tempat bermain billiard, dan lainnya. Restorannya menyediakan berbagai menu menarik untuk 6 kali waktu makan dalam sehari: sarapan, makan siang, makan malam, dan tiga kali coffee break. Masih kurang? Kamarnya terasa mewah dibandingkan kamar kos kami dengan fasilitas air panas –sebagian besar dari kami memang tinggal di kos-kosan sebagai anak rantau–. Terdapat ruang bersama untuk tiap 4 kamar di mana kami dapat menonton televisi berbayar sambil minum teh atau kopi. Kalau bukan karena fasilitas lainnya oke dan sayang untuk dilewatkan, mungkin kami betah bertahan di kamar selama waktu kosong.

Itu tadi sedikit cerita tentang tempat diadakan Annual Gathering kami. Cerita selanjutnya adalah mengenai susunan acara selama Annual Gathering. Acara pembukaan tahun ini terasa lebih meriah oleh kehadiran Saung Angklung Mang Udjo. Sebagai pembukaan, para pemain membawakan beberapa buah lagu dengan iringan angklung dan alat musik tradisional lainnya. Setelah itu, salah satu penyanyi mereka, yakni Teh Lia, memimpin kami semua bermain angklung. Masing-masing dari kami mendapat pinjaman angklung untuk dimainkan bersama. Saya pun belajar bahwa angklung memiliki nada yang berbeda-beda, dan saat itu saya mendapatkan angklung bernada SO. Teh Lia memberi isyarat dengan jari dalam memimpin permainan angklung kami. Mengejutkan bahwa akhirnya kami dapat membawakan tiga buah lagu, bahkan ada satu lagu dangdut, namun yang paling berkesan adalah saat kami membawakan lagu We Are the Champion karya Queen. Ini merupakan pengalaman luar biasa bagi saya dan beberapa kawan.

Teh Lia memimpin permainan angklung kami

Acara pembukaan dilanjutkan dengan sesi Team Building yang tahun ini diisi oleh MIC The Transformer yang diluar dugaan lebih banyak acara indoor-nya. Hanya satu momen di mana kami harus habis-habisan di lapangan terbuka, yakni saat sang instruktur meminta kami untuk membuat ‘jembatan’ dengan diri kami sendiri dan semua yang menempel pada tubuh kami. Momen tersebut cukup mengesankan melihat perjuangan kami dalam membuat jembatan di mana sebagian dari kami merelakan kaos baru kami yang dibagikan oleh pihak CIMB Niaga di awal acara. Ada-ada saja ide kami untuk membuat jembatan tersebut, entah memakai tali sepatu, ikat pinggang, tali name-tag, atau bahkan sobekan kertas-kertas yang kami temukan dalam dompet. Di luar urusan membuat jembatan itu, kegiatan Team Building tahun ini terasa datar-datar saja. Tidak heran ada beberapa di antara kami terlihat mengantuk di tengah acara.

Selepas makan malam, acara yang cukup ditunggu-tunggu digelar, yakni Malam Keakraban. Kami telah berlatih keras baik secara individu maupun tim untuk acara ini. Secara individu karena tiga penghargaan dibagikan secara individu, yakni Best Scholar Award on Academic Achievement untuk penerima beasiswa dengan Ipk tertinggi dari masing-masing batch, Best Scholar Award on Non-academic Achievement untuk penerima beasiswa dengan prestasi di luar akademik dari masing-masing batch, dan Most Active Scholar untuk 3 individu teraktif selama sesi Team Building.

Selain itu, secara tim ada penghargaan Best Performance untuk penampilan terbaik yang disuguhkan masing-masing batch. Tahun ini tema untuk performance tiap batch adalah Go Green. Batch II atau angkatan 2007, yakni tim saya, mendapatkan juara II untuk drama musikal berjudul Sekuel Manohara. Kami menampilkan drama di mana salah satu adegannya terdapat pemutaran video mengenai Green Office dan drama tersebut ditutup dengan tarian diiringi lagu hasil gubahan kami. Salut untuk sang sutradara dan beberapa teman yang telah mati-matian syuting video untuk penampilan tahun ini. Saya sempat menyaksikan salah satu syuting yang menurut saya paling ‘sepele’, yakni syuting adegan print kertas dua sisi atau istilahnya ‘bolak-balik’, tapi ternyata syuting tersebut cukup rumit karena mereka memperhatikan detilnya. Pemenang dari kompetisi pertunjukan ini adalah Bsatch III yang menampilkan drama di mana sepasang muda-mudi menonton tivi dengan berbagai saluran yang menampilkan berbagai jenis tayangan, termasuk iklan Go Green CIMB Niaga dan beasiswa CIMB Niaga. Idenya sangat kreatif.

Aksi batch III yg luar biasa hingga juara I

Di sisi lain, Batch I menyuguhkan puisi musikal untuk penampilan terakhir mereka –sungguh mengejutkan dan mengharukan begitu kami mengetahui mereka tidak lagi akan berpartisipasi dalam acara gathering tahun berikutnya–. Juara II direbut oleh pendatang baru, yakni Batch IV, yang menampilkan aksi teatrikal lucu yang dilanjutkan dengan pembawaan lagu hasil ciptaan mereka.

Usai foto bersama, berakhirlah acara untuk hari pertama. Hari kedua diisi dengan 3 kegiatan, yakni workshop mengenai entrepreneurship dengan Ibu Wulan Ayodya, pebisnis sukses yang juga berprofesi sebagai pengajar, Self Motivational Session bersama Bapak Antonius Arif dari Inspirasi Indonesia, dan Sharing Session antara penerima beasiswa dengan manajemen CIMB Niaga dan Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mmengenai kebijakan-kebijakan beasiswa. Workshop berjalan cukup menarik di mana banyak sekali di antara kami yang tertantang menyuarakan opini tiap kali diberi kesempatan oleh Ibu Wulan. Bahkan sesi pertanyaan harus dibatasi hanya untuk 3 penanya akibat keterbatasan waktu.

Sebelum makan siang, Bapak Antonius Arif melanjutkan dengan materi Neuro-Linguistic Programming yang masih baru di Indonesia. NLP ini membantu orang-orang mengontrol pikirannya untuk meraih sukses, bagaimana menghilangkan phobia dan melakukan hypnotherapy. Pak Arif mengajarkan kami bagaimana mengontrol pikiran kami agar selalu postif. Menurutnya, sukses itu memiliki empat elemen, yakni diri kami sendiri, sasaran, fleksibilitas, dan rapport (hubungan baik dengan orang lain). Dia juga mengenalkan istilah 212 Degree Attitude, yang maksudnya adalah air dapat menjadi panas pada 211 derajat Fahrenheit serta mendidih pada 212 derajat dan uapnya dapat menggerakkan lokomotif. Perbedaan satu derajat ternyata dapat membawa perubahan yang begitu besar. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kami membuat perubahan setiap saat untuk sesuatu yang jauh lebih hebat.

Sesi motivasi tersebut terus berlanjut sampai selepas makan malam dan hanya diselingi oleh tiga kali break, yakni makan siang-coffee break sore-makan malam. Sebagai penutupan, kami dibawa ke aula lain yang telah dibuat gelap sebelumnya dan hanya diterangi beberapa lilin. Kami mengikuti renungan malam yang menurut saya berbeda dari biasanya di mana sang pembicara membawakan suatu kisah mengenai diri kami dengan latar musik dan kami semua diminta memejamkan mata.

Selepas renungan malam, acara ketiga untuk hari kedua pun dimulai. Untuk sesi ini, kami dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama yakni Batch I mengikuti Sharing Session bersama Ibu Luh Nindyawati atau yang biasa kami panggil dengan Ibu Juty, selaku manager dari Internal Communication & Community Relation Division, yakni divisi yang bertanggung jawab atas program beasiswa. Sharing Session Batch I adalah mengenai kebijakan-kebijakan yang akan mereka hadapi setelah lulus kuliah. Kelompok kedua yang terdiri dari Batch II dan III mengadakan persiapan untuk ‘Welcome Party for Batch IV’ dengan arahan Ibu Erlin, juga dari divisi yang sama dengan Ibu Juty di CIMB Niaga. Kelompok ketiga, Batch IV, menerima arahan-arahan mengenai kebijakan beasiswa mereka bersama Pak AB Susanto –wakil dari Kemdiknas- dan Mas Awang, asisten manajer yang merupakan mentor kami. Beasiswa bagi Batch IV memang agak berbeda dibandingkan beasiswa untuk ketiga batch sebelumnya di mana CIMB Niaga bekerja sama dengan Kemdiknas dalam pemberian beasiswa yang dinamakan Beasiswa Unggulan tersebut.

Ketiga batch kemudian disatukan dalam acara Welcome Party selepas Sharing Session. Hanya Batch I yang tetap larut dalam diskusi setengah serius bersama Ibu Juty. Bahkan kegiatan diskusi mereka belum berakhir begitu Welcome Party usai.

Hari ketiga diisi oleh acara penutupan yang berjalan singkat dan cukup menyenangkan. Ibu Juty dan Pak AB memberikan pesan-pesan pemberi motivasi terakhir. Kemudian tiga orang dari kami diminta memimpin tarian dengan iringan salah satu theme song Piala Dunia 2010. Sertifikat pun dibagikan. Kami lalu dipulangkan ke Kantor Pusat CIMB Niaga di sudirman. Acara berakhir, namun ini bukanlah akhir perjalanan kami. Acara gathering merupakan saat yang kami tunggu-tunggu, bukan hanya demi merekatkan semangat kekeluargaan kami, tapi juga untuk memompa ulang semangat kami dalam kuliah demi meraih cita-cita kami yang seringkali mengendur di tengah perjalanan seiiring munculnya berbagai problematika kehidupan. Singkat kata, Annual Gathering is All We Need!


[Ayo Lanjutkan]

I B U

ditulis oleh Maryam (Juara I Lomba Menulis Cerpen LDK Al-'Arief Tahun 2008)

I B U
Ada banyak kata di dunia ini, namun tak satu pun yang bisa tepat menggambarkan seorang ibu…
---
Siang itu, cuaca sungguh bersahabat bagi siapa saja di lapangan belakang rumah tahanan itu. Mendung, tapi tak setetes hujan pun yang turun menyapa bumi. Matahari nampak malu-malu menampakkan auranya, hanya muncul sekilas lalu kembali ke balik awan. Tidak panas tidak hujan, apalagi yang bisa diharapkan oleh manusia-manusia yang semakin hari semakin kurang bersyukur kepada Sang Maha Pencipta.

Di lapangan belakang itu, sekitar dua puluhan orang tahanan sedang asyik terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Tampak empat orang petugas dengan cermat mengamati mereka, seorang dari mereka malah terlibat percakapan dengan beberapa orang tahanan.

“Apa kalian tahu bagaimana perasaan ibu kalian begitu kalian masuk penjara?” si petugas yang kelihatan lebih muda dibandingkan petugas lain itu memulai dialognya dengan tiga orang tahanan yang masih remaja.

Ditanya begitu, ketiga remaja itu memberi respon yang berbeda-beda. Seorang tersipu-sipu, yang seorang lagi langsung menjatuhkan sekop dari genggamannya, dan yang terakhir malah tertawa lepas.

Si petugas tampak sangat gusar melihat remaja terakhir yang tertawa, ia mencengkram kaos yang dipakai si remaja erat-erat, “Apanya yang lucu?! Saya bertanya tentang ibu dan kamu malah tertawa! Kamu sungguh tak tahu diri!”

“Ma-maaf…Tapi Bapak pasti juga tertawa kalau mendengar jawaban saya atas pertanyaan Bapak tadi.”

Si petugas masih tampak marah, “Jawab saja pertanyaan saya, tidak perlu tertawa!”

Si remaja masih saja cengengesan, “Ibu saya justru alasan mengapa saya ada di sini.”

Si petugas mengeryitkan keningnya, keheranan di wajahnya seolah-olah mengatakan ‘apa maksudmu?’.

Dan seakan mampu membaca pikiran si petugas, remaja itu melanjutkan kata-katanya, “Percaya atau tidak, ibu saya seorang bandar. Saya tidak akan pernah mengenal narkoba kalau bukan karena dirinya.”

Dia, dan dua remaja yang lainnya, memang berada di rutan itu karena alasan narkoba.

“Yang benar? Hebat banget!” remaja lain, yang tadi tersipu atas pertanyaan si petugas, berkomentar.

“Hush!” si petugas mendelik marah pada remaja pengomentar tadi. Remaja itu langsung tersipu kembali. Sang petugas menghela nafas berat, lalu berkata, “Yeah, memang tidak semua orang mendapatkan ibu yang sempurna, yang perilakunya nyaris tanpa cela. Tapi yakinlah, tidak ada seorang pun ibu di dunia yang sungguh-sungguh tega membiarkan anaknya sendirian, terpuruk, atau pun menderita. Mungkin kalian telah berpuluh-puluh kali mendengar orang mengatakannya atau jika kalian belum pernah mendengarnya maka biarkan saya memberitahu kalian bahwa kasih sayang seorang ibu tidak pernah bisa diukur dengan apa pun, dan usaha apa pun yang kalian coba untuk membalasnya tidak akan pernah cukup untuk membayar lunas semua kasih sayangnya. Kalian berhutang seumur hidup pada ibu. Jika kalian memang sudah terlalu sering mendengar kata-kata semacam itu dibicarakan orang banyak, atau bahkan dinyanyikan, percayalah apa yang mereka katakan itu memang demikian adanya. Itu adalah kebenaran mutlak.”

Si remaja dengan ibu seorang bandar langsung menimpali kata-kata sang petugas dengan nada menantang, “Jika memang begitu, bagaimana Bapak menjelaskan kasus yang menimpa ibu saya?”

Sang petugas tidak langsung menjawab. Dia menatap si remaja dengan pandangan prihatin untuk beberapa saat, lalu berkata, “Pernahkah kamu memikirkan apa yang mendorong ibumu melakukan perbuatan itu? Pernahkah terlintas di hatimu rasa sakit yang membebaninya selama ini? Itu semua adalah demi dirimu juga. Ia rela menjerumuskan dirinya sendiri ke lubang kelam demi menyalamatkan hidupmu. Jika kamu memang tahu cara yang ia tempuh salah, jika kamu memang menyayanginya, mengapa kamu tidak berusaha merubahnya?

Sekarang lihat dirimu. Kamu sudah cukup besar untuk melakukan sesuatu, untuk menggantikan tugas ibumu mencari nafkah dengan cara-cara yang jauh lebih baik. Dengan begitu, kamu bukan hanya mengurangi bebannya sebagai pencari nafkah tapi juga menghapus kerisauannya selama ini akibat menekuni pekerjaan haram meskipun secara terpaksa.

Ingat-ingatlah apa-apa yang telah dikorbankan ibumu sampai kau sedewasa ini, berapa banyak materi, waktu, keringat, atau bahkan airmata yang telah terkuras darinya. Semakin sering kamu mengingatnya, maka semakin mantap niatmu meluruskan jalan hidup ibumu, demi kebahagiannya sendiri di dunia dan akhirat. Senyum ibumu nantinya akan menjadi bagian dari alasan segala tindakanmu.”

Sang petugas mengatakan itu semua dengan mata berkaca-kaca, namun si remaja malah bersikap seakan ia tidak mendengar apa pun.

“Ibu saya marah ketika tahu apa yang telah saya lakukan, dan sampai sekarang menolak berbicara dengan saya,” kata remaja yang tersipu-sipu, sekarang menundukkan wajahnya setelah mendengar kata-kata sang petugas barusan.

“Kamu tahu alasan ibumu marah dan menolak bicara?” sang petugas telah memalingkan wajah dari si remaja keras kepala dan beralih ke remaja ini.

“Ya, saya tahu. Sekarang saya bahkan bisa menerka rasa sakit yang ia rasakan…Saya hanya bisa menerka, saya tidak akan pernah bisa ikut merasakannya meski sedikit saja. Saya tahu, saya kurang mengingat-ingat jasa-jasa ibu, eh bukan…jangankan mengingatnya, selama ini saya bahkan tidak mencoba menghitung jasa-jasanya. Saya berjanji mulai saat ini jalan apapun, selama itu sah, akan saya tempuh demi melihat ibu tersenyum lagi kepada saya.”

Sang petugas tersenyum mendengar kata-kata si remaja, lalu menepuk pundak remaja itu dengan lembut, “Bersyukurlah pada Tuhan yang telah membuka mata hatimu, tidak semua orang mendapat karunia semacam ini.”

Si remaja mengangkat wajahnya dan tersenyum pada sang petugas, sementara remaja keras kepala menggeleng-gelengkan kepalanya, entah apa yang ia pikirkan. Remaja terakhir, yang tidak mengatakan sepatah kata pun sedari tadi, masih saja memasang tampang penuh misteri di wajahnya. Sang petugas bisa melihat garis-garis wajahnya menyiratkan betapa kelam hidup yang telah ia tempuh.

“Dan kamu, bagaimana dengan ibumu?” sang petugas bertanya.

Yang bersangkutan hanya menggeleng tegas seolah mengatakan ‘no comment’ atau malah ‘it’s not your bussiness’.

“Tak apa jika memang belum ada yang bisa kamu ceritakan. Sekarang, saya ingin menceritakan kisah nyata tentang pengorbanan luar biasa dari seorang ibu. Sungguh beruntunglah si anak jika pengorbanan ibunya itu mengilhami segala tindakannya, namun celakalah anaknya itu jika hatinya masih tertutup bahkan dengan pengorbanan terbesar yang bisa diharapkan dari seorang ibu itu.”

Sang petugas mengambil nafas panjang dan dalam, perih rasanya, lalu melanjutkan, “Ada seorang anak yang dibesarkan dengan penuh cinta seorang ibu, seperti kebanyakan anak di dunia ini. Ayahnya telah tiada sejak ia masih berada dalam kandungan, sehingga ibu adalah satu-satunya orang tua yang ia kenal. Sang ibu menaruh harapan besar pada anaknya itu, kelak ia berharap sang anak tumbuh menjadi seorang yang berakhlak baik dan meraih sukses di dunia maupun akhirat. Pelajaran demi pelajaran, keteladanan demi keteladanan ia tanamkan bahkan sejak buah hatinya itu masih dalam timangannya. Anaknya pun tumbuh sesuai impiannya, cerdas dan berakhlak terpuji. Untuk mendukung rencana mulianya itu, saat sang anak tumbuh menjadi remaja ia didaftarkan ke sebuah pesantren oleh ibunya dengan penuh kepercayaan dan harapan besar.

Tapi apa yang dilakukan si anak selama jauh dari ibunya sungguh sulit dicerna akal sehat. Mungkin hanya sebagian kecil orang yang tahu, pendidikan pesantren memang melahirkan orang-orang dengan iman berkualitas, dan justru konsekuensinya adalah lebih banyak godaan di dalam pesantren yang bisa ditemui para pelajar. Banyak orang-orang jahat yang berusaha merusak pesantren dengan meracuni pelajar-pelajarnya, dan pelajar yang bisa melalui cobaan itu niscaya imannya akan jauh lebih kuat.

Tidak demikian dengan si anak. Ia terlalu lemah, ia tidak pernah mempertimbangkan segalanya dari sisi ibunya, ia sungguh tak mengenal kata terimakasih. Ia menghancurkan mimpi ibunya dengan begitu mudahnya. Semua karya dan sentuhan ibunya yang ada pada dirinya rusak dalam sekejap. Ia terbujuk oleh setan bernama narkoba.

Semakin hari ia semakin tidak terkendali, sehingga sampailah ke telinga ibunya kabar buruk itu. Ia dikeluarkan dari pesantren. Hati ibunya teramat perih menerima kenyataan pahit itu, namun di dalam benaknya impiannya tidak pernah padam. Meskipun harus susah payah membangun dari awal lagi, ibunya bertekad untuk tidak pernah berhenti menaruh harapan. Tetapi bagi si anak yang telah rusak akhlaknya itu, segala nasehat ibunya hanyalah angin lalu. Ia meronta keluar dari rumah hangat seorang ibu, ia berlari ke jalan yang salah kembali, berpesta-pora barang haram.

Tidak aneh jika tak berapa lama kemudian polisi datang untuk menciduknya lalu memasukkannya ke balik jeruji. Yang aneh dan sulit dipercaya adalah apa yang dilakukan ibunya begitu tahu putranya, harapan terbesar dan satu-satunya, mendekam dalam bui. Hanya dua hari merasakan hidup di dalam bilik sempit bernama penjara, si anak dibebaskan. Bertanya-tanya apa yang membuat para polisi berkali-kali mengatakan kepadanya kata-kata seperti ‘maaf, sepertinya kami salah menangkap orang’, akhirnya ia mendapati kenyataannya begitu tiba di rumah ibunda tercinta. Tidak ada sambutan peluk hangat dari ibunya yang ia harapkan, yang ada malah bentakan kasar dari pamannya.

Pamannya mengatakan semuanya, bahwa ibunya telah menyerahkan diri kepada polisi dan berkali-kali meyakinkan bahwa putranya tidak bersalah, berbohong dengan mengatakan dia-lah yang telah mendorong anaknya memakai obat-obatan laknat itu, berdusta dengan mengatakan bahwa ia adalah seorang bandar besar di kampungnya yang telah menyesatkan puluhan remaja, bahkan ibunya membawa berplastik-plastik serbuk putih yang ia dapatkan di rumah kawan putranya sebagai ‘bukti’ bahwa ia memang seorang bandar untuk meyakinkan para polisi. Ibunya melakukan itu karena berpikir itulah satu-satunya cara ia membebaskan anaknya, ia tidak memiliki cukup uang untuk menebus putranya keluar dari penjara. Hanya itu yang dapat ia lakukan demi menjaga mimpinya tetap memiliki harapan untuk dapat terwujud.

Satu-satunya yang putranya lakukan setelah mendengar cerita pamannya, bahkan sebelum sempat pamannya selesai berkata, adalah berlari sekuat tenaga kembali ke penjara di mana ibunya kini berada. Lalu, ia menangis di hadapan ibunya, menumpahkan segala kekesalan dan kebencian pada dirinya sendiri. Ibunya hanya tersenyum, dan mengatakan ‘jangan menyalahkan dirimu sendiri, ibulah yang dari awal tidak berusaha lebih keras dalam mendidikmu, maafkan ibu, nak’.

Putranya tidak berkata apa-apa lagi mendengar penyesalan yang tidak perlu dari ibunya itu. Mata hatinya pun terbuka lebar untuk pertama kali dalam hidupnya. Ia merasa sangat kotor, ia ingin sekali membersihkan ‘bajunya’. Ia butuh ibunya, tapi merasa tidak layak untuk meminta bantuannya. Ia ingin sekali memohon ribuan kata maaf pada ibunya, tapi merasa sebanyak apapun kata maaf darinya tidak pantas diterima oleh ibunya. Akhirnya ia hanya menangis, meluluhkan segala penyesalan dari dalam dirinya dengan harapan ia tidak akan pernah perlu menyesali apa pun lagi dalam hidupnya.

Penyesalan itu makin besar dan berat begitu ibunya meninggal di balik penjara tak berapa lama kemudian, setelah sakit akibat tak tahan dengan segala kebusukan dan kotornya penjara baik secara fisik maupun psikis. Namun ibunya pergi dengan senyum terindah yang pernah putranya lihat. Putranya tahu bahwa ibunya meninggalkannya dengan keyakinan besar mimpinya akhirnya benar-benar akan terwujud.

Dan seperti janjinya, sang putra akhirnya memang tidak pernah melakukan sesuatu yang di kemudian hari perlu ia sesali. Ia mewujudkan semua harapan ibunya, menjadi insan yang sukses di dunia dan mudah-mudahan di akhirat.”

Sang petugas mengakhiri ceritanya. Matanya kembali berkaca-kaca, tapi ketiga remaja di hadapannya malah sesenggukan.

“Bapak, maafkan saya sudah menjelek-jelekkan ibu saya…hiks…hiks…” si remaja keras kepala akhirnya luluh juga.

Sang petugas tersenyum, “Jangan minta maaf pada saya, mintalah pada ibumu.”

“Pak,” si remaja penuh misteri akhirnya berkata juga.

“Ya?”

“Ibu saya meninggal ketika melahirkan saya. Saya belum pernah merasakan kasih sayangnya, dan saya sama sekali tak tahu apakah ada sesuatu yang perlu saya balas?”

“Tentu saja ada. Kamu lahir ke dunia ini pun mustahil tanpa ibumu. Percayalah, ibumu akan sedih sekali jika melihat kamu berada di sini. Kamu pasti tahu apa yang sebenarnya harus dilakukan, kamu hanya belum yakin. Sekarang mudah-mudahan keyakinanmu sudah cukup.”

Remaja itu merenung, airmatanya telah berhenti mengalir. Ia mencoba meresapi kata-kata sang petugas.

Lalu terdengarlah bunyi bel yang menandakan waktu ishoma telah tiba. Ketiga remaja itu bersama sang petugas bangkit berdiri, meninggalkan lapangan belakang.

Sang petugas tidak langsung kembali ke ruang kerjanya. Ia beranjak ke sel khusus para tahanan wanita. Di sana para tahanan sedang menikmati waktu istirahat seperti halnya para tahanan pria, sehingga semua sel kosong. Sang petugas mendatangi satu sel yang penuh sejarah baginya. Ia menangis tiba-tiba, sebuah memori berputar cepat di otaknya.

“Maafkan aku, Ibu…” katanya lirih.

[Ayo Lanjutkan]

K I S A H K U

ditulis oleh Maryam (dalam rangka mengikuti LMCPI)

Aku tumbuh besar di lingkungan sebuah sekolah islami. Tanpa kusadari, aku telah menjadi simbol sekolah itu, menjadi saksi hidup perkembangannya dari masa ke masa. Usiaku sedikit lebih tua dari sekolah itu sendiri. Aku ingat benar masa kecilku, meski aku tak ingat lagi itu kapan, dan aku memang cenderung tak pernah menghitung waktu. Yang kutahu matahari acapkali terbit membawa hari yang baru, lalu terbenam kembali. Entah sudah berapa kali aku mengalami pergantian waktu seperti itu, yang pasti sebagian besar waktuku kuhabiskan bertasbih memuja Sang Khaliq.

Masa kecilku adalah masa-masa terbaik dalam hidupku, entah bagaimana itu bisa terjadi tapi sungguh aku malu dengan kenyataan itu. Bukankah hari esok seharusnya lebih baik dari sebelumnya? Namun, apalah dayaku. Aku hidup dengan segala keterbatasan, pasrah kepada Sang Khaliq yang menyerahkanku kepada sang khalifah di muka bumi. Akan menjadi apa aku, meski hakikatnya takdir Allah bekerja penuh atas diriku, adalah urusan para khalifah itu. Mereka adalah makhluk yang paling sempurna, diberi akal pikiran dan kemampuan untuk mengolah bumi demi kelangsungan hidup mereka dan bumi itu sendiri. Aku dan makhluk lain hidup untuk dikendalikan mereka, dengan senang hati berkorban demi tujuan mereka yang mulia, tapi tak jarang juga memendam sakit saat dipaksa merelakan diri guna memuaskan nafsu mereka yang tak tentu arah dan tujuannya.

Kembali ke masa kecilku. Saat itu, aku tumbuh begitu rapat dengan koloniku, membentuk hutan lebat yang sungguh menyejukkan mata. Aku kecil senang sekali menatap mereka yang jauh lebih tinggi dariku, mengagumi kekokohan tubuh mereka, memandangi ribuan daun yang me-rindangi mereka, dan akhirnya merasa tak sabar menunggu saat dewasaku tiba.

Sedikit di luar area kami, mengalir sungai jernih dengan beraneka makhluk di dalamnya hidup dengan penuh sukacita. Di pinggir sungai itulah, manusia-manusia membangun peradaban mereka yang pertama di daerah kami, yang pada masa kecilku itu mereka sudah mulai berkembang luas dengan lahan-lahan persawahan di sana-sini. Banyak manusia yang berdecak kagum saat mengunjungi rumah kami, menengadahkan kepala mereka ke arah pucuk-pucuk tertinggi kami, mengagumi kehijauan dan kesuburan kami. Dari bibir mereka terucap kata subhanallah yang tak henti-hentinya. Aku bahagia, tasbihku lebih sering berupa rasa syukur atas nikmat Allah yang luar biasa itu.

Namun, kehidupan seperti itu ternyata hanya diciptakan sangat singkat untukku. Belum lagi aku tumbuh besar, manusia-manusia itu mulai berubah pikiran. Mereka memutuskan untuk menjamah rumahku. Mereka berdalih dengan mengatakan butuh lebih banyak lahan demi anak cucu mereka yang kian hari kian berlipat jumlahnya. Sebagian besar dari kami yang telah cukup tua pun mengalah, merelakan diri ditebang guna menciptakan lahan kosong yang cukup luas bagi mereka untuk membangun rumah-rumah, masjid, sekolah, lapangan, dan juga lahan berternak.

Dalam sekejap rumah hijau kami telah lenyap. Aku dan sedikit kawanku yang tersisa tak tahu apakah kami harus merasa senang karena tak ikut menjadi tumbal. Belakangan, setelah kurenungkan, aku sadar bahwa kami yang tersisa tak punya hak untuk merasa sedih atau senang, yang kami punya hanyalah keinginan untuk menghijaukan bumi ini. Andai manusia-manusia itu bisa mendengar keluh-kesah kami.

Rumah baruku adalah sebuah sekolah madrasah pimpinan seorang kyai yang sangat taat pada ajaran agama. Beliau juga amat peduli pada lingkungan sekitarnya. Sekolah sederhana itu dibuatnya sejuk dengan aneka tumbuhan. Sebentar saja aku mendapat banyak kawan baru. Kami tumbuh subur bersama-sama, tapi tentu saja tak ada yang bisa mengalahkan tinggiku. Kesenangan baru itu mulai menentramkan hatiku kembali, mengubur angan-angan untuk kembali ke masa lalu. Aku terus bertasbih dengan rasa syukur yang berlipat ganda kepada Sang Maha Kuasa.

Sang kyai kemudian berpulang ke Rahmatullah, menyisakan kepedihan di antara kami. Aku tak putus-putus memohon ampunan baginya kepada Allah. Putra-putri sang kyai melanjutkan kepengurusan madrasah itu. Seiring berkembangnya teknologi dan meluasnya akses komunikasi, perubahan-perubahan pun tak dapat dielakkan. Mereka, putra-putri sang kyai, membagi-bagi madrasah itu menjadi unit-unit yang saling berbeda tahap dan metode pendidikannya. Kini, tidak hanya terdapat madrasah ibtidaiyah atau tsanawiyah misalnya, tetapi juga terdapat sd dan smp umum demi menarik lebih banyak minat warga-warga pendatang yang rupanya memiliki pola pikir aneh dengan menganggap kolot sebuah sekolah dengan embel-embel madrasah.

Bukan hanya sistem sekolah itu yang mulai kacau, kawan-kawanku pun bertumbangan satu demi satu. Hanya aku yang bertahan dengan kekokohan tubuhku. Hatiku miris menyaksikan lahan hijau yang makin berkurang di sekolah ini demi bangunan-bangunan kelas baru. Lapangan di sisi baratku sudah terlumat habis jauh-jauh hari saat mereka membangun musholla, yang sebenarnya sudah terwakili fungsinya dengan kehadiran masjid besar persis di depan gerbang sekolah. Mereka tak berhenti sampai di situ, kreasi-kreasi baru terus lahir hingga tak tersisa sejangkal tanah lagi kecuali sedikit sekali di sepanjang gerbang, yang sengaja disisakan untuk tanaman-tanaman kecil.

Dan siang ini, aku sedang menatap cahaya silau milik matahari dengan perasaan galau. Aku bisa merasakannya, matahari belakangan ini terasa sangat berbeda dengan yang dulu kukenal. Aku memang membutuhkannya demi proses produksi di dapur hijauku, tapi aku juga takut sinar yang makin terang itu merusak persediaan airku. Ditambah dengan tugas berat memerangi populasi yang makin merajalela dari hari ke hari, masa tuaku sungguh bukan idaman siapa pun. Jauh dari yang bisa dibayangkan, atau malah tak pernah terperkirakan oleh leluhurku.

Perhatianku mendadak dialihkan oleh kemunculan seorang gadis kecil berkerudung putih yang manis. Aku mengenalnya, dan bagiku kehadirannya bagaikan setetes embun di tengah gurun pasir. Namanya Jamilah, yang secara tepat menggambarkan hatinya. Ia menatapku dengan senyum manis, membelai tubuh kokohku dengan lembut, lalu menatap sekelilingku. Tak perlu waktu lama baginya untuk menyadari betapa banyak kawan-kawannya yang telah seenaknya membuang sampah, tak mengindahkan tegurannya selama ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. Kemudian, dengan cekatan dia mulai memunguti sampah itu satu demi satu dan membuangnya ke tempat sampah yang sebenarnya tersedia tak jauh dari tempatku. Ia memang belum pernah sungguh-sungguh mengatakannya padaku, tapi aku tahu benar bahwa ia sedang menjalankan misi mengembalikan manusia ke fitrahnya sebagai khalifah bumi, bukan sebaliknya menjadi perusak. Dan ia tidak pernah menyerah menjalankan misinya, meski semelelahkan apa pun usaha yang ia lakukan itu.

Gadis kecil itu patut menjadi panutan di sekolah ini, tak heran jika ia disenangi semua makhluk sekolah, entah itu para guru, sebagian kecil kawan-kawannya, aku, atau bahkan burung-burung gereja yang suka hinggap di batangku. Aku menemukan perbedaan jauh antara dirinya dengan kebanyakan kawan-kawannya. Mereka, yang sering duduk dalam naunganku, tak henti-hentinya berceloteh soal dunia yang tak jelas faedahnya. Mereka lebih suka membicarakan mode, mempermasalahkan kehidupan artis yang bahkan sebenarnya tak pernah merasa butuh perhatian mereka, atau membahas ulang acara tivi yang baru mereka saksikan semalam. Mereka cenderung meremehkan hal-hal yang sebenarnya penting.

Aku sangsi apakah mereka pernah sedikit saja memikkirkan bahaya-bahaya dari tindakan sembrono yang menurut mereka sepele. Membuang sampah ke sungai, misalnya, tanpa disadari bisa menjadi kejahatan yang sangat besar bagi pelakunya. Sampah membuat sungai meluap saat musim penghujan tiba sehingga banjir melanda dan tak jarang memakan korban nyawa. Itu semua sebenarnya tak lepas dari tanggungjawab si pembuang sampah. Anehnya, mereka tak pernah menyesali perbuatan itu, yang kebanyakan disebabkan keengganan mereka untuk berpikir sebelum bertindak. Atau, terlalu sibukkah mereka untuk melakukan hal itu?

Sejauh yang kudengar, tak terlintas sedikit pun kecemasan dalam obrolan mereka mengenai nasib bumi mereka sendiri, yang jika nantinya benar-benar hancur maka tak akan ada kesempatan lagi untuk memikirkan mode, orang lain yang tidak mengenal mereka, atau tivi. Yang ada nantinya hanya penyesalan tanpa batas. Aku sungguh tak ingin membayangkan saat-saat itu.

Padahal sudah begitu banyak peringatan-peringatan di depan hidung mereka sendiri. Aku sendiri teramat gundah tiap kali mengintip ke salah satu ruang guru untuk menyaksikan acara tivi yang menampilkan bencana-bencana seperti tsunami, angin ribut, tanah longsor, banjir yang bahkan terjadi di musim kemarau, kekeringan, kebakaran hutan, sampai mencairnya es di kutub. Fakta-fakta itu memang mulai membuka mata mereka, membangunkan sebagian dari mereka dari tidur lelap bertahun-tahun. Kebijakan-kebijakan baru disusun, konferensi-konferensi bermisikan penyelamatan bumi digelar, dan organisasi-organisasi ‘hijau’ dibentuk. Tapi, berapa banyak dari mereka yang masih mengacuhkan bukti-bukti yang telah disodorkan alam itu? Aku melihatnya sendiri, hanya satu dari sekian ratus siswa di sekolah ini yang tanggap pada nasib bumi. Yang lain hanya menyaksikan bencana-bencana itu layaknya menonton acara sinetron, kepekaan mereka semakin padam seiring meningkatnya frekuensi munculnya bencana yang mereka saksikan.

Aku kembali memperhatikan si gadis kecil. Kini ia duduk bersandar di bawah naungan daun-daunku yang rindang, seusai membereskan pekerjaannya. Aku memandangnya takjub sambil mensyukuri keajaiban Tuhan yang telah mengutus insan berakhlak mulia seperti dirinya ini. Ini adalah bukti kemurahan hati-Nya, menciptakan sang penegak kebajikan di antara ribuan perusak. Harapan untuk hidup yang lebih baik ternyata belum benar-benar lenyap. Diam-diam aku mengharap pada Sang Ilahi agar semakin banyak Jamilah-Jamilah lain yang dilahirkan dari manusia. Kuucapkan do’a itu dengan setulus-tulusnya. Lagi kupikir, itu juga yang menjadi harapan makhluk lain yang mulai merasakan derita bumi, layaknya diriku.

Kudengar dering bel sekolah berbunyi, membuat Jamilah beranjak menjauh dariku. Aku melepas kepergiannya dengan senyum, diiringi gugurnya buah-buah asem yang telah masak dari batangku, yang kemudian menimpa aspal di bawahku dengan suara keras. Suara itu menyakitkan bagiku, membuatku terkenang masa-masa lalu di mana buahku tak pernah jatuh dengan menimbulkan suara karena ada tanah lembut yang menangkap jatuhnya, bukan aspal.

Namun, semangat seorang Jamilah akan terus menjadi motivasi bagiku. Aku tak akan berhenti berharap selama gadis kecil sepertinya saja mampu berbuat sesuatu untuk bumi kami tercinta. Aku bisa membayangkan hari esok yang lebih hijau, hari esok di mana kawan-kawan Jamilah akhirnya mau mendengarkan gadis kecil itu, hari esok di mana akhirnya ada percakapan mengenai lingkungan yang bisa kudengar dari mereka yang duduk dengan meminjam naunganku, hari esok di mana tak perlu lagi ada orang yang tidak sengaja menjadi pembunuh dengan membuang sampah ke sungai, hari esok di mana aku memilki kawan-kawan baru lagi, hari esok di mana bencana di tivi bukan menjadi sekedar tontonan, hari esok di mana matahari tidak bersinar dengan menakutkan, dan hari esok di mana sakit yang diderita bumi akhirnya terobati. Entah kapan hari itu tiba, tapi dengan mempercayainya dan melakukan sesuatu untuk mencapainya, hari esok itu bukanlah impian yang sia-sia.

Inilah kisahku, sebatang pohon asem tua di sebuah sekolah.

[Ayo Lanjutkan]
 
Copyright Another Wall 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .