ditulis oleh Maryam (Juara I Lomba Menulis Cerpen LDK Al-'Arief Tahun 2008)
I B U
Ada banyak kata di dunia ini, namun tak satu pun yang bisa tepat menggambarkan seorang ibu…
---
Siang itu, cuaca sungguh bersahabat bagi siapa saja di lapangan belakang rumah tahanan itu. Mendung, tapi tak setetes hujan pun yang turun menyapa bumi. Matahari nampak malu-malu menampakkan auranya, hanya muncul sekilas lalu kembali ke balik awan. Tidak panas tidak hujan, apalagi yang bisa diharapkan oleh manusia-manusia yang semakin hari semakin kurang bersyukur kepada Sang Maha Pencipta.
Di lapangan belakang itu, sekitar dua puluhan orang tahanan sedang asyik terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Tampak empat orang petugas dengan cermat mengamati mereka, seorang dari mereka malah terlibat percakapan dengan beberapa orang tahanan.
“Apa kalian tahu bagaimana perasaan ibu kalian begitu kalian masuk penjara?” si petugas yang kelihatan lebih muda dibandingkan petugas lain itu memulai dialognya dengan tiga orang tahanan yang masih remaja.
Ditanya begitu, ketiga remaja itu memberi respon yang berbeda-beda. Seorang tersipu-sipu, yang seorang lagi langsung menjatuhkan sekop dari genggamannya, dan yang terakhir malah tertawa lepas.
Si petugas tampak sangat gusar melihat remaja terakhir yang tertawa, ia mencengkram kaos yang dipakai si remaja erat-erat, “Apanya yang lucu?! Saya bertanya tentang ibu dan kamu malah tertawa! Kamu sungguh tak tahu diri!”
“Ma-maaf…Tapi Bapak pasti juga tertawa kalau mendengar jawaban saya atas pertanyaan Bapak tadi.”
Si petugas masih tampak marah, “Jawab saja pertanyaan saya, tidak perlu tertawa!”
Si remaja masih saja cengengesan, “Ibu saya justru alasan mengapa saya ada di sini.”
Si petugas mengeryitkan keningnya, keheranan di wajahnya seolah-olah mengatakan ‘apa maksudmu?’.
Dan seakan mampu membaca pikiran si petugas, remaja itu melanjutkan kata-katanya, “Percaya atau tidak, ibu saya seorang bandar. Saya tidak akan pernah mengenal narkoba kalau bukan karena dirinya.”
Dia, dan dua remaja yang lainnya, memang berada di rutan itu karena alasan narkoba.
“Yang benar? Hebat banget!” remaja lain, yang tadi tersipu atas pertanyaan si petugas, berkomentar.
“Hush!” si petugas mendelik marah pada remaja pengomentar tadi. Remaja itu langsung tersipu kembali. Sang petugas menghela nafas berat, lalu berkata, “Yeah, memang tidak semua orang mendapatkan ibu yang sempurna, yang perilakunya nyaris tanpa cela. Tapi yakinlah, tidak ada seorang pun ibu di dunia yang sungguh-sungguh tega membiarkan anaknya sendirian, terpuruk, atau pun menderita. Mungkin kalian telah berpuluh-puluh kali mendengar orang mengatakannya atau jika kalian belum pernah mendengarnya maka biarkan saya memberitahu kalian bahwa kasih sayang seorang ibu tidak pernah bisa diukur dengan apa pun, dan usaha apa pun yang kalian coba untuk membalasnya tidak akan pernah cukup untuk membayar lunas semua kasih sayangnya. Kalian berhutang seumur hidup pada ibu. Jika kalian memang sudah terlalu sering mendengar kata-kata semacam itu dibicarakan orang banyak, atau bahkan dinyanyikan, percayalah apa yang mereka katakan itu memang demikian adanya. Itu adalah kebenaran mutlak.”
Si remaja dengan ibu seorang bandar langsung menimpali kata-kata sang petugas dengan nada menantang, “Jika memang begitu, bagaimana Bapak menjelaskan kasus yang menimpa ibu saya?”
Sang petugas tidak langsung menjawab. Dia menatap si remaja dengan pandangan prihatin untuk beberapa saat, lalu berkata, “Pernahkah kamu memikirkan apa yang mendorong ibumu melakukan perbuatan itu? Pernahkah terlintas di hatimu rasa sakit yang membebaninya selama ini? Itu semua adalah demi dirimu juga. Ia rela menjerumuskan dirinya sendiri ke lubang kelam demi menyalamatkan hidupmu. Jika kamu memang tahu cara yang ia tempuh salah, jika kamu memang menyayanginya, mengapa kamu tidak berusaha merubahnya?
Sekarang lihat dirimu. Kamu sudah cukup besar untuk melakukan sesuatu, untuk menggantikan tugas ibumu mencari nafkah dengan cara-cara yang jauh lebih baik. Dengan begitu, kamu bukan hanya mengurangi bebannya sebagai pencari nafkah tapi juga menghapus kerisauannya selama ini akibat menekuni pekerjaan haram meskipun secara terpaksa.
Ingat-ingatlah apa-apa yang telah dikorbankan ibumu sampai kau sedewasa ini, berapa banyak materi, waktu, keringat, atau bahkan airmata yang telah terkuras darinya. Semakin sering kamu mengingatnya, maka semakin mantap niatmu meluruskan jalan hidup ibumu, demi kebahagiannya sendiri di dunia dan akhirat. Senyum ibumu nantinya akan menjadi bagian dari alasan segala tindakanmu.”
Sang petugas mengatakan itu semua dengan mata berkaca-kaca, namun si remaja malah bersikap seakan ia tidak mendengar apa pun.
“Ibu saya marah ketika tahu apa yang telah saya lakukan, dan sampai sekarang menolak berbicara dengan saya,” kata remaja yang tersipu-sipu, sekarang menundukkan wajahnya setelah mendengar kata-kata sang petugas barusan.
“Kamu tahu alasan ibumu marah dan menolak bicara?” sang petugas telah memalingkan wajah dari si remaja keras kepala dan beralih ke remaja ini.
“Ya, saya tahu. Sekarang saya bahkan bisa menerka rasa sakit yang ia rasakan…Saya hanya bisa menerka, saya tidak akan pernah bisa ikut merasakannya meski sedikit saja. Saya tahu, saya kurang mengingat-ingat jasa-jasa ibu, eh bukan…jangankan mengingatnya, selama ini saya bahkan tidak mencoba menghitung jasa-jasanya. Saya berjanji mulai saat ini jalan apapun, selama itu sah, akan saya tempuh demi melihat ibu tersenyum lagi kepada saya.”
Sang petugas tersenyum mendengar kata-kata si remaja, lalu menepuk pundak remaja itu dengan lembut, “Bersyukurlah pada Tuhan yang telah membuka mata hatimu, tidak semua orang mendapat karunia semacam ini.”
Si remaja mengangkat wajahnya dan tersenyum pada sang petugas, sementara remaja keras kepala menggeleng-gelengkan kepalanya, entah apa yang ia pikirkan. Remaja terakhir, yang tidak mengatakan sepatah kata pun sedari tadi, masih saja memasang tampang penuh misteri di wajahnya. Sang petugas bisa melihat garis-garis wajahnya menyiratkan betapa kelam hidup yang telah ia tempuh.
“Dan kamu, bagaimana dengan ibumu?” sang petugas bertanya.
Yang bersangkutan hanya menggeleng tegas seolah mengatakan ‘no comment’ atau malah ‘it’s not your bussiness’.
“Tak apa jika memang belum ada yang bisa kamu ceritakan. Sekarang, saya ingin menceritakan kisah nyata tentang pengorbanan luar biasa dari seorang ibu. Sungguh beruntunglah si anak jika pengorbanan ibunya itu mengilhami segala tindakannya, namun celakalah anaknya itu jika hatinya masih tertutup bahkan dengan pengorbanan terbesar yang bisa diharapkan dari seorang ibu itu.”
Sang petugas mengambil nafas panjang dan dalam, perih rasanya, lalu melanjutkan, “Ada seorang anak yang dibesarkan dengan penuh cinta seorang ibu, seperti kebanyakan anak di dunia ini. Ayahnya telah tiada sejak ia masih berada dalam kandungan, sehingga ibu adalah satu-satunya orang tua yang ia kenal. Sang ibu menaruh harapan besar pada anaknya itu, kelak ia berharap sang anak tumbuh menjadi seorang yang berakhlak baik dan meraih sukses di dunia maupun akhirat. Pelajaran demi pelajaran, keteladanan demi keteladanan ia tanamkan bahkan sejak buah hatinya itu masih dalam timangannya. Anaknya pun tumbuh sesuai impiannya, cerdas dan berakhlak terpuji. Untuk mendukung rencana mulianya itu, saat sang anak tumbuh menjadi remaja ia didaftarkan ke sebuah pesantren oleh ibunya dengan penuh kepercayaan dan harapan besar.
Tapi apa yang dilakukan si anak selama jauh dari ibunya sungguh sulit dicerna akal sehat. Mungkin hanya sebagian kecil orang yang tahu, pendidikan pesantren memang melahirkan orang-orang dengan iman berkualitas, dan justru konsekuensinya adalah lebih banyak godaan di dalam pesantren yang bisa ditemui para pelajar. Banyak orang-orang jahat yang berusaha merusak pesantren dengan meracuni pelajar-pelajarnya, dan pelajar yang bisa melalui cobaan itu niscaya imannya akan jauh lebih kuat.
Tidak demikian dengan si anak. Ia terlalu lemah, ia tidak pernah mempertimbangkan segalanya dari sisi ibunya, ia sungguh tak mengenal kata terimakasih. Ia menghancurkan mimpi ibunya dengan begitu mudahnya. Semua karya dan sentuhan ibunya yang ada pada dirinya rusak dalam sekejap. Ia terbujuk oleh setan bernama narkoba.
Semakin hari ia semakin tidak terkendali, sehingga sampailah ke telinga ibunya kabar buruk itu. Ia dikeluarkan dari pesantren. Hati ibunya teramat perih menerima kenyataan pahit itu, namun di dalam benaknya impiannya tidak pernah padam. Meskipun harus susah payah membangun dari awal lagi, ibunya bertekad untuk tidak pernah berhenti menaruh harapan. Tetapi bagi si anak yang telah rusak akhlaknya itu, segala nasehat ibunya hanyalah angin lalu. Ia meronta keluar dari rumah hangat seorang ibu, ia berlari ke jalan yang salah kembali, berpesta-pora barang haram.
Tidak aneh jika tak berapa lama kemudian polisi datang untuk menciduknya lalu memasukkannya ke balik jeruji. Yang aneh dan sulit dipercaya adalah apa yang dilakukan ibunya begitu tahu putranya, harapan terbesar dan satu-satunya, mendekam dalam bui. Hanya dua hari merasakan hidup di dalam bilik sempit bernama penjara, si anak dibebaskan. Bertanya-tanya apa yang membuat para polisi berkali-kali mengatakan kepadanya kata-kata seperti ‘maaf, sepertinya kami salah menangkap orang’, akhirnya ia mendapati kenyataannya begitu tiba di rumah ibunda tercinta. Tidak ada sambutan peluk hangat dari ibunya yang ia harapkan, yang ada malah bentakan kasar dari pamannya.
Pamannya mengatakan semuanya, bahwa ibunya telah menyerahkan diri kepada polisi dan berkali-kali meyakinkan bahwa putranya tidak bersalah, berbohong dengan mengatakan dia-lah yang telah mendorong anaknya memakai obat-obatan laknat itu, berdusta dengan mengatakan bahwa ia adalah seorang bandar besar di kampungnya yang telah menyesatkan puluhan remaja, bahkan ibunya membawa berplastik-plastik serbuk putih yang ia dapatkan di rumah kawan putranya sebagai ‘bukti’ bahwa ia memang seorang bandar untuk meyakinkan para polisi. Ibunya melakukan itu karena berpikir itulah satu-satunya cara ia membebaskan anaknya, ia tidak memiliki cukup uang untuk menebus putranya keluar dari penjara. Hanya itu yang dapat ia lakukan demi menjaga mimpinya tetap memiliki harapan untuk dapat terwujud.
Satu-satunya yang putranya lakukan setelah mendengar cerita pamannya, bahkan sebelum sempat pamannya selesai berkata, adalah berlari sekuat tenaga kembali ke penjara di mana ibunya kini berada. Lalu, ia menangis di hadapan ibunya, menumpahkan segala kekesalan dan kebencian pada dirinya sendiri. Ibunya hanya tersenyum, dan mengatakan ‘jangan menyalahkan dirimu sendiri, ibulah yang dari awal tidak berusaha lebih keras dalam mendidikmu, maafkan ibu, nak’.
Putranya tidak berkata apa-apa lagi mendengar penyesalan yang tidak perlu dari ibunya itu. Mata hatinya pun terbuka lebar untuk pertama kali dalam hidupnya. Ia merasa sangat kotor, ia ingin sekali membersihkan ‘bajunya’. Ia butuh ibunya, tapi merasa tidak layak untuk meminta bantuannya. Ia ingin sekali memohon ribuan kata maaf pada ibunya, tapi merasa sebanyak apapun kata maaf darinya tidak pantas diterima oleh ibunya. Akhirnya ia hanya menangis, meluluhkan segala penyesalan dari dalam dirinya dengan harapan ia tidak akan pernah perlu menyesali apa pun lagi dalam hidupnya.
Penyesalan itu makin besar dan berat begitu ibunya meninggal di balik penjara tak berapa lama kemudian, setelah sakit akibat tak tahan dengan segala kebusukan dan kotornya penjara baik secara fisik maupun psikis. Namun ibunya pergi dengan senyum terindah yang pernah putranya lihat. Putranya tahu bahwa ibunya meninggalkannya dengan keyakinan besar mimpinya akhirnya benar-benar akan terwujud.
Dan seperti janjinya, sang putra akhirnya memang tidak pernah melakukan sesuatu yang di kemudian hari perlu ia sesali. Ia mewujudkan semua harapan ibunya, menjadi insan yang sukses di dunia dan mudah-mudahan di akhirat.”
Sang petugas mengakhiri ceritanya. Matanya kembali berkaca-kaca, tapi ketiga remaja di hadapannya malah sesenggukan.
“Bapak, maafkan saya sudah menjelek-jelekkan ibu saya…hiks…hiks…” si remaja keras kepala akhirnya luluh juga.
Sang petugas tersenyum, “Jangan minta maaf pada saya, mintalah pada ibumu.”
“Pak,” si remaja penuh misteri akhirnya berkata juga.
“Ya?”
“Ibu saya meninggal ketika melahirkan saya. Saya belum pernah merasakan kasih sayangnya, dan saya sama sekali tak tahu apakah ada sesuatu yang perlu saya balas?”
“Tentu saja ada. Kamu lahir ke dunia ini pun mustahil tanpa ibumu. Percayalah, ibumu akan sedih sekali jika melihat kamu berada di sini. Kamu pasti tahu apa yang sebenarnya harus dilakukan, kamu hanya belum yakin. Sekarang mudah-mudahan keyakinanmu sudah cukup.”
Remaja itu merenung, airmatanya telah berhenti mengalir. Ia mencoba meresapi kata-kata sang petugas.
Lalu terdengarlah bunyi bel yang menandakan waktu ishoma telah tiba. Ketiga remaja itu bersama sang petugas bangkit berdiri, meninggalkan lapangan belakang.
Sang petugas tidak langsung kembali ke ruang kerjanya. Ia beranjak ke sel khusus para tahanan wanita. Di sana para tahanan sedang menikmati waktu istirahat seperti halnya para tahanan pria, sehingga semua sel kosong. Sang petugas mendatangi satu sel yang penuh sejarah baginya. Ia menangis tiba-tiba, sebuah memori berputar cepat di otaknya.
“Maafkan aku, Ibu…” katanya lirih.
I B U
Ada banyak kata di dunia ini, namun tak satu pun yang bisa tepat menggambarkan seorang ibu…
---
Siang itu, cuaca sungguh bersahabat bagi siapa saja di lapangan belakang rumah tahanan itu. Mendung, tapi tak setetes hujan pun yang turun menyapa bumi. Matahari nampak malu-malu menampakkan auranya, hanya muncul sekilas lalu kembali ke balik awan. Tidak panas tidak hujan, apalagi yang bisa diharapkan oleh manusia-manusia yang semakin hari semakin kurang bersyukur kepada Sang Maha Pencipta.
Di lapangan belakang itu, sekitar dua puluhan orang tahanan sedang asyik terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Tampak empat orang petugas dengan cermat mengamati mereka, seorang dari mereka malah terlibat percakapan dengan beberapa orang tahanan.
“Apa kalian tahu bagaimana perasaan ibu kalian begitu kalian masuk penjara?” si petugas yang kelihatan lebih muda dibandingkan petugas lain itu memulai dialognya dengan tiga orang tahanan yang masih remaja.
Ditanya begitu, ketiga remaja itu memberi respon yang berbeda-beda. Seorang tersipu-sipu, yang seorang lagi langsung menjatuhkan sekop dari genggamannya, dan yang terakhir malah tertawa lepas.
Si petugas tampak sangat gusar melihat remaja terakhir yang tertawa, ia mencengkram kaos yang dipakai si remaja erat-erat, “Apanya yang lucu?! Saya bertanya tentang ibu dan kamu malah tertawa! Kamu sungguh tak tahu diri!”
“Ma-maaf…Tapi Bapak pasti juga tertawa kalau mendengar jawaban saya atas pertanyaan Bapak tadi.”
Si petugas masih tampak marah, “Jawab saja pertanyaan saya, tidak perlu tertawa!”
Si remaja masih saja cengengesan, “Ibu saya justru alasan mengapa saya ada di sini.”
Si petugas mengeryitkan keningnya, keheranan di wajahnya seolah-olah mengatakan ‘apa maksudmu?’.
Dan seakan mampu membaca pikiran si petugas, remaja itu melanjutkan kata-katanya, “Percaya atau tidak, ibu saya seorang bandar. Saya tidak akan pernah mengenal narkoba kalau bukan karena dirinya.”
Dia, dan dua remaja yang lainnya, memang berada di rutan itu karena alasan narkoba.
“Yang benar? Hebat banget!” remaja lain, yang tadi tersipu atas pertanyaan si petugas, berkomentar.
“Hush!” si petugas mendelik marah pada remaja pengomentar tadi. Remaja itu langsung tersipu kembali. Sang petugas menghela nafas berat, lalu berkata, “Yeah, memang tidak semua orang mendapatkan ibu yang sempurna, yang perilakunya nyaris tanpa cela. Tapi yakinlah, tidak ada seorang pun ibu di dunia yang sungguh-sungguh tega membiarkan anaknya sendirian, terpuruk, atau pun menderita. Mungkin kalian telah berpuluh-puluh kali mendengar orang mengatakannya atau jika kalian belum pernah mendengarnya maka biarkan saya memberitahu kalian bahwa kasih sayang seorang ibu tidak pernah bisa diukur dengan apa pun, dan usaha apa pun yang kalian coba untuk membalasnya tidak akan pernah cukup untuk membayar lunas semua kasih sayangnya. Kalian berhutang seumur hidup pada ibu. Jika kalian memang sudah terlalu sering mendengar kata-kata semacam itu dibicarakan orang banyak, atau bahkan dinyanyikan, percayalah apa yang mereka katakan itu memang demikian adanya. Itu adalah kebenaran mutlak.”
Si remaja dengan ibu seorang bandar langsung menimpali kata-kata sang petugas dengan nada menantang, “Jika memang begitu, bagaimana Bapak menjelaskan kasus yang menimpa ibu saya?”
Sang petugas tidak langsung menjawab. Dia menatap si remaja dengan pandangan prihatin untuk beberapa saat, lalu berkata, “Pernahkah kamu memikirkan apa yang mendorong ibumu melakukan perbuatan itu? Pernahkah terlintas di hatimu rasa sakit yang membebaninya selama ini? Itu semua adalah demi dirimu juga. Ia rela menjerumuskan dirinya sendiri ke lubang kelam demi menyalamatkan hidupmu. Jika kamu memang tahu cara yang ia tempuh salah, jika kamu memang menyayanginya, mengapa kamu tidak berusaha merubahnya?
Sekarang lihat dirimu. Kamu sudah cukup besar untuk melakukan sesuatu, untuk menggantikan tugas ibumu mencari nafkah dengan cara-cara yang jauh lebih baik. Dengan begitu, kamu bukan hanya mengurangi bebannya sebagai pencari nafkah tapi juga menghapus kerisauannya selama ini akibat menekuni pekerjaan haram meskipun secara terpaksa.
Ingat-ingatlah apa-apa yang telah dikorbankan ibumu sampai kau sedewasa ini, berapa banyak materi, waktu, keringat, atau bahkan airmata yang telah terkuras darinya. Semakin sering kamu mengingatnya, maka semakin mantap niatmu meluruskan jalan hidup ibumu, demi kebahagiannya sendiri di dunia dan akhirat. Senyum ibumu nantinya akan menjadi bagian dari alasan segala tindakanmu.”
Sang petugas mengatakan itu semua dengan mata berkaca-kaca, namun si remaja malah bersikap seakan ia tidak mendengar apa pun.
“Ibu saya marah ketika tahu apa yang telah saya lakukan, dan sampai sekarang menolak berbicara dengan saya,” kata remaja yang tersipu-sipu, sekarang menundukkan wajahnya setelah mendengar kata-kata sang petugas barusan.
“Kamu tahu alasan ibumu marah dan menolak bicara?” sang petugas telah memalingkan wajah dari si remaja keras kepala dan beralih ke remaja ini.
“Ya, saya tahu. Sekarang saya bahkan bisa menerka rasa sakit yang ia rasakan…Saya hanya bisa menerka, saya tidak akan pernah bisa ikut merasakannya meski sedikit saja. Saya tahu, saya kurang mengingat-ingat jasa-jasa ibu, eh bukan…jangankan mengingatnya, selama ini saya bahkan tidak mencoba menghitung jasa-jasanya. Saya berjanji mulai saat ini jalan apapun, selama itu sah, akan saya tempuh demi melihat ibu tersenyum lagi kepada saya.”
Sang petugas tersenyum mendengar kata-kata si remaja, lalu menepuk pundak remaja itu dengan lembut, “Bersyukurlah pada Tuhan yang telah membuka mata hatimu, tidak semua orang mendapat karunia semacam ini.”
Si remaja mengangkat wajahnya dan tersenyum pada sang petugas, sementara remaja keras kepala menggeleng-gelengkan kepalanya, entah apa yang ia pikirkan. Remaja terakhir, yang tidak mengatakan sepatah kata pun sedari tadi, masih saja memasang tampang penuh misteri di wajahnya. Sang petugas bisa melihat garis-garis wajahnya menyiratkan betapa kelam hidup yang telah ia tempuh.
“Dan kamu, bagaimana dengan ibumu?” sang petugas bertanya.
Yang bersangkutan hanya menggeleng tegas seolah mengatakan ‘no comment’ atau malah ‘it’s not your bussiness’.
“Tak apa jika memang belum ada yang bisa kamu ceritakan. Sekarang, saya ingin menceritakan kisah nyata tentang pengorbanan luar biasa dari seorang ibu. Sungguh beruntunglah si anak jika pengorbanan ibunya itu mengilhami segala tindakannya, namun celakalah anaknya itu jika hatinya masih tertutup bahkan dengan pengorbanan terbesar yang bisa diharapkan dari seorang ibu itu.”
Sang petugas mengambil nafas panjang dan dalam, perih rasanya, lalu melanjutkan, “Ada seorang anak yang dibesarkan dengan penuh cinta seorang ibu, seperti kebanyakan anak di dunia ini. Ayahnya telah tiada sejak ia masih berada dalam kandungan, sehingga ibu adalah satu-satunya orang tua yang ia kenal. Sang ibu menaruh harapan besar pada anaknya itu, kelak ia berharap sang anak tumbuh menjadi seorang yang berakhlak baik dan meraih sukses di dunia maupun akhirat. Pelajaran demi pelajaran, keteladanan demi keteladanan ia tanamkan bahkan sejak buah hatinya itu masih dalam timangannya. Anaknya pun tumbuh sesuai impiannya, cerdas dan berakhlak terpuji. Untuk mendukung rencana mulianya itu, saat sang anak tumbuh menjadi remaja ia didaftarkan ke sebuah pesantren oleh ibunya dengan penuh kepercayaan dan harapan besar.
Tapi apa yang dilakukan si anak selama jauh dari ibunya sungguh sulit dicerna akal sehat. Mungkin hanya sebagian kecil orang yang tahu, pendidikan pesantren memang melahirkan orang-orang dengan iman berkualitas, dan justru konsekuensinya adalah lebih banyak godaan di dalam pesantren yang bisa ditemui para pelajar. Banyak orang-orang jahat yang berusaha merusak pesantren dengan meracuni pelajar-pelajarnya, dan pelajar yang bisa melalui cobaan itu niscaya imannya akan jauh lebih kuat.
Tidak demikian dengan si anak. Ia terlalu lemah, ia tidak pernah mempertimbangkan segalanya dari sisi ibunya, ia sungguh tak mengenal kata terimakasih. Ia menghancurkan mimpi ibunya dengan begitu mudahnya. Semua karya dan sentuhan ibunya yang ada pada dirinya rusak dalam sekejap. Ia terbujuk oleh setan bernama narkoba.
Semakin hari ia semakin tidak terkendali, sehingga sampailah ke telinga ibunya kabar buruk itu. Ia dikeluarkan dari pesantren. Hati ibunya teramat perih menerima kenyataan pahit itu, namun di dalam benaknya impiannya tidak pernah padam. Meskipun harus susah payah membangun dari awal lagi, ibunya bertekad untuk tidak pernah berhenti menaruh harapan. Tetapi bagi si anak yang telah rusak akhlaknya itu, segala nasehat ibunya hanyalah angin lalu. Ia meronta keluar dari rumah hangat seorang ibu, ia berlari ke jalan yang salah kembali, berpesta-pora barang haram.
Tidak aneh jika tak berapa lama kemudian polisi datang untuk menciduknya lalu memasukkannya ke balik jeruji. Yang aneh dan sulit dipercaya adalah apa yang dilakukan ibunya begitu tahu putranya, harapan terbesar dan satu-satunya, mendekam dalam bui. Hanya dua hari merasakan hidup di dalam bilik sempit bernama penjara, si anak dibebaskan. Bertanya-tanya apa yang membuat para polisi berkali-kali mengatakan kepadanya kata-kata seperti ‘maaf, sepertinya kami salah menangkap orang’, akhirnya ia mendapati kenyataannya begitu tiba di rumah ibunda tercinta. Tidak ada sambutan peluk hangat dari ibunya yang ia harapkan, yang ada malah bentakan kasar dari pamannya.
Pamannya mengatakan semuanya, bahwa ibunya telah menyerahkan diri kepada polisi dan berkali-kali meyakinkan bahwa putranya tidak bersalah, berbohong dengan mengatakan dia-lah yang telah mendorong anaknya memakai obat-obatan laknat itu, berdusta dengan mengatakan bahwa ia adalah seorang bandar besar di kampungnya yang telah menyesatkan puluhan remaja, bahkan ibunya membawa berplastik-plastik serbuk putih yang ia dapatkan di rumah kawan putranya sebagai ‘bukti’ bahwa ia memang seorang bandar untuk meyakinkan para polisi. Ibunya melakukan itu karena berpikir itulah satu-satunya cara ia membebaskan anaknya, ia tidak memiliki cukup uang untuk menebus putranya keluar dari penjara. Hanya itu yang dapat ia lakukan demi menjaga mimpinya tetap memiliki harapan untuk dapat terwujud.
Satu-satunya yang putranya lakukan setelah mendengar cerita pamannya, bahkan sebelum sempat pamannya selesai berkata, adalah berlari sekuat tenaga kembali ke penjara di mana ibunya kini berada. Lalu, ia menangis di hadapan ibunya, menumpahkan segala kekesalan dan kebencian pada dirinya sendiri. Ibunya hanya tersenyum, dan mengatakan ‘jangan menyalahkan dirimu sendiri, ibulah yang dari awal tidak berusaha lebih keras dalam mendidikmu, maafkan ibu, nak’.
Putranya tidak berkata apa-apa lagi mendengar penyesalan yang tidak perlu dari ibunya itu. Mata hatinya pun terbuka lebar untuk pertama kali dalam hidupnya. Ia merasa sangat kotor, ia ingin sekali membersihkan ‘bajunya’. Ia butuh ibunya, tapi merasa tidak layak untuk meminta bantuannya. Ia ingin sekali memohon ribuan kata maaf pada ibunya, tapi merasa sebanyak apapun kata maaf darinya tidak pantas diterima oleh ibunya. Akhirnya ia hanya menangis, meluluhkan segala penyesalan dari dalam dirinya dengan harapan ia tidak akan pernah perlu menyesali apa pun lagi dalam hidupnya.
Penyesalan itu makin besar dan berat begitu ibunya meninggal di balik penjara tak berapa lama kemudian, setelah sakit akibat tak tahan dengan segala kebusukan dan kotornya penjara baik secara fisik maupun psikis. Namun ibunya pergi dengan senyum terindah yang pernah putranya lihat. Putranya tahu bahwa ibunya meninggalkannya dengan keyakinan besar mimpinya akhirnya benar-benar akan terwujud.
Dan seperti janjinya, sang putra akhirnya memang tidak pernah melakukan sesuatu yang di kemudian hari perlu ia sesali. Ia mewujudkan semua harapan ibunya, menjadi insan yang sukses di dunia dan mudah-mudahan di akhirat.”
Sang petugas mengakhiri ceritanya. Matanya kembali berkaca-kaca, tapi ketiga remaja di hadapannya malah sesenggukan.
“Bapak, maafkan saya sudah menjelek-jelekkan ibu saya…hiks…hiks…” si remaja keras kepala akhirnya luluh juga.
Sang petugas tersenyum, “Jangan minta maaf pada saya, mintalah pada ibumu.”
“Pak,” si remaja penuh misteri akhirnya berkata juga.
“Ya?”
“Ibu saya meninggal ketika melahirkan saya. Saya belum pernah merasakan kasih sayangnya, dan saya sama sekali tak tahu apakah ada sesuatu yang perlu saya balas?”
“Tentu saja ada. Kamu lahir ke dunia ini pun mustahil tanpa ibumu. Percayalah, ibumu akan sedih sekali jika melihat kamu berada di sini. Kamu pasti tahu apa yang sebenarnya harus dilakukan, kamu hanya belum yakin. Sekarang mudah-mudahan keyakinanmu sudah cukup.”
Remaja itu merenung, airmatanya telah berhenti mengalir. Ia mencoba meresapi kata-kata sang petugas.
Lalu terdengarlah bunyi bel yang menandakan waktu ishoma telah tiba. Ketiga remaja itu bersama sang petugas bangkit berdiri, meninggalkan lapangan belakang.
Sang petugas tidak langsung kembali ke ruang kerjanya. Ia beranjak ke sel khusus para tahanan wanita. Di sana para tahanan sedang menikmati waktu istirahat seperti halnya para tahanan pria, sehingga semua sel kosong. Sang petugas mendatangi satu sel yang penuh sejarah baginya. Ia menangis tiba-tiba, sebuah memori berputar cepat di otaknya.
“Maafkan aku, Ibu…” katanya lirih.