ditulis oleh Maryam (dalam rangka mengikuti LMCPI)
Aku tumbuh besar di lingkungan sebuah sekolah islami. Tanpa kusadari, aku telah menjadi simbol sekolah itu, menjadi saksi hidup perkembangannya dari masa ke masa. Usiaku sedikit lebih tua dari sekolah itu sendiri. Aku ingat benar masa kecilku, meski aku tak ingat lagi itu kapan, dan aku memang cenderung tak pernah menghitung waktu. Yang kutahu matahari acapkali terbit membawa hari yang baru, lalu terbenam kembali. Entah sudah berapa kali aku mengalami pergantian waktu seperti itu, yang pasti sebagian besar waktuku kuhabiskan bertasbih memuja Sang Khaliq.
Masa kecilku adalah masa-masa terbaik dalam hidupku, entah bagaimana itu bisa terjadi tapi sungguh aku malu dengan kenyataan itu. Bukankah hari esok seharusnya lebih baik dari sebelumnya? Namun, apalah dayaku. Aku hidup dengan segala keterbatasan, pasrah kepada Sang Khaliq yang menyerahkanku kepada sang khalifah di muka bumi. Akan menjadi apa aku, meski hakikatnya takdir Allah bekerja penuh atas diriku, adalah urusan para khalifah itu. Mereka adalah makhluk yang paling sempurna, diberi akal pikiran dan kemampuan untuk mengolah bumi demi kelangsungan hidup mereka dan bumi itu sendiri. Aku dan makhluk lain hidup untuk dikendalikan mereka, dengan senang hati berkorban demi tujuan mereka yang mulia, tapi tak jarang juga memendam sakit saat dipaksa merelakan diri guna memuaskan nafsu mereka yang tak tentu arah dan tujuannya.
Kembali ke masa kecilku. Saat itu, aku tumbuh begitu rapat dengan koloniku, membentuk hutan lebat yang sungguh menyejukkan mata. Aku kecil senang sekali menatap mereka yang jauh lebih tinggi dariku, mengagumi kekokohan tubuh mereka, memandangi ribuan daun yang me-rindangi mereka, dan akhirnya merasa tak sabar menunggu saat dewasaku tiba.
Sedikit di luar area kami, mengalir sungai jernih dengan beraneka makhluk di dalamnya hidup dengan penuh sukacita. Di pinggir sungai itulah, manusia-manusia membangun peradaban mereka yang pertama di daerah kami, yang pada masa kecilku itu mereka sudah mulai berkembang luas dengan lahan-lahan persawahan di sana-sini. Banyak manusia yang berdecak kagum saat mengunjungi rumah kami, menengadahkan kepala mereka ke arah pucuk-pucuk tertinggi kami, mengagumi kehijauan dan kesuburan kami. Dari bibir mereka terucap kata subhanallah yang tak henti-hentinya. Aku bahagia, tasbihku lebih sering berupa rasa syukur atas nikmat Allah yang luar biasa itu.
Namun, kehidupan seperti itu ternyata hanya diciptakan sangat singkat untukku. Belum lagi aku tumbuh besar, manusia-manusia itu mulai berubah pikiran. Mereka memutuskan untuk menjamah rumahku. Mereka berdalih dengan mengatakan butuh lebih banyak lahan demi anak cucu mereka yang kian hari kian berlipat jumlahnya. Sebagian besar dari kami yang telah cukup tua pun mengalah, merelakan diri ditebang guna menciptakan lahan kosong yang cukup luas bagi mereka untuk membangun rumah-rumah, masjid, sekolah, lapangan, dan juga lahan berternak.
Dalam sekejap rumah hijau kami telah lenyap. Aku dan sedikit kawanku yang tersisa tak tahu apakah kami harus merasa senang karena tak ikut menjadi tumbal. Belakangan, setelah kurenungkan, aku sadar bahwa kami yang tersisa tak punya hak untuk merasa sedih atau senang, yang kami punya hanyalah keinginan untuk menghijaukan bumi ini. Andai manusia-manusia itu bisa mendengar keluh-kesah kami.
Rumah baruku adalah sebuah sekolah madrasah pimpinan seorang kyai yang sangat taat pada ajaran agama. Beliau juga amat peduli pada lingkungan sekitarnya. Sekolah sederhana itu dibuatnya sejuk dengan aneka tumbuhan. Sebentar saja aku mendapat banyak kawan baru. Kami tumbuh subur bersama-sama, tapi tentu saja tak ada yang bisa mengalahkan tinggiku. Kesenangan baru itu mulai menentramkan hatiku kembali, mengubur angan-angan untuk kembali ke masa lalu. Aku terus bertasbih dengan rasa syukur yang berlipat ganda kepada Sang Maha Kuasa.
Sang kyai kemudian berpulang ke Rahmatullah, menyisakan kepedihan di antara kami. Aku tak putus-putus memohon ampunan baginya kepada Allah. Putra-putri sang kyai melanjutkan kepengurusan madrasah itu. Seiring berkembangnya teknologi dan meluasnya akses komunikasi, perubahan-perubahan pun tak dapat dielakkan. Mereka, putra-putri sang kyai, membagi-bagi madrasah itu menjadi unit-unit yang saling berbeda tahap dan metode pendidikannya. Kini, tidak hanya terdapat madrasah ibtidaiyah atau tsanawiyah misalnya, tetapi juga terdapat sd dan smp umum demi menarik lebih banyak minat warga-warga pendatang yang rupanya memiliki pola pikir aneh dengan menganggap kolot sebuah sekolah dengan embel-embel madrasah.
Bukan hanya sistem sekolah itu yang mulai kacau, kawan-kawanku pun bertumbangan satu demi satu. Hanya aku yang bertahan dengan kekokohan tubuhku. Hatiku miris menyaksikan lahan hijau yang makin berkurang di sekolah ini demi bangunan-bangunan kelas baru. Lapangan di sisi baratku sudah terlumat habis jauh-jauh hari saat mereka membangun musholla, yang sebenarnya sudah terwakili fungsinya dengan kehadiran masjid besar persis di depan gerbang sekolah. Mereka tak berhenti sampai di situ, kreasi-kreasi baru terus lahir hingga tak tersisa sejangkal tanah lagi kecuali sedikit sekali di sepanjang gerbang, yang sengaja disisakan untuk tanaman-tanaman kecil.
Dan siang ini, aku sedang menatap cahaya silau milik matahari dengan perasaan galau. Aku bisa merasakannya, matahari belakangan ini terasa sangat berbeda dengan yang dulu kukenal. Aku memang membutuhkannya demi proses produksi di dapur hijauku, tapi aku juga takut sinar yang makin terang itu merusak persediaan airku. Ditambah dengan tugas berat memerangi populasi yang makin merajalela dari hari ke hari, masa tuaku sungguh bukan idaman siapa pun. Jauh dari yang bisa dibayangkan, atau malah tak pernah terperkirakan oleh leluhurku.
Perhatianku mendadak dialihkan oleh kemunculan seorang gadis kecil berkerudung putih yang manis. Aku mengenalnya, dan bagiku kehadirannya bagaikan setetes embun di tengah gurun pasir. Namanya Jamilah, yang secara tepat menggambarkan hatinya. Ia menatapku dengan senyum manis, membelai tubuh kokohku dengan lembut, lalu menatap sekelilingku. Tak perlu waktu lama baginya untuk menyadari betapa banyak kawan-kawannya yang telah seenaknya membuang sampah, tak mengindahkan tegurannya selama ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. Kemudian, dengan cekatan dia mulai memunguti sampah itu satu demi satu dan membuangnya ke tempat sampah yang sebenarnya tersedia tak jauh dari tempatku. Ia memang belum pernah sungguh-sungguh mengatakannya padaku, tapi aku tahu benar bahwa ia sedang menjalankan misi mengembalikan manusia ke fitrahnya sebagai khalifah bumi, bukan sebaliknya menjadi perusak. Dan ia tidak pernah menyerah menjalankan misinya, meski semelelahkan apa pun usaha yang ia lakukan itu.
Gadis kecil itu patut menjadi panutan di sekolah ini, tak heran jika ia disenangi semua makhluk sekolah, entah itu para guru, sebagian kecil kawan-kawannya, aku, atau bahkan burung-burung gereja yang suka hinggap di batangku. Aku menemukan perbedaan jauh antara dirinya dengan kebanyakan kawan-kawannya. Mereka, yang sering duduk dalam naunganku, tak henti-hentinya berceloteh soal dunia yang tak jelas faedahnya. Mereka lebih suka membicarakan mode, mempermasalahkan kehidupan artis yang bahkan sebenarnya tak pernah merasa butuh perhatian mereka, atau membahas ulang acara tivi yang baru mereka saksikan semalam. Mereka cenderung meremehkan hal-hal yang sebenarnya penting.
Aku sangsi apakah mereka pernah sedikit saja memikkirkan bahaya-bahaya dari tindakan sembrono yang menurut mereka sepele. Membuang sampah ke sungai, misalnya, tanpa disadari bisa menjadi kejahatan yang sangat besar bagi pelakunya. Sampah membuat sungai meluap saat musim penghujan tiba sehingga banjir melanda dan tak jarang memakan korban nyawa. Itu semua sebenarnya tak lepas dari tanggungjawab si pembuang sampah. Anehnya, mereka tak pernah menyesali perbuatan itu, yang kebanyakan disebabkan keengganan mereka untuk berpikir sebelum bertindak. Atau, terlalu sibukkah mereka untuk melakukan hal itu?
Sejauh yang kudengar, tak terlintas sedikit pun kecemasan dalam obrolan mereka mengenai nasib bumi mereka sendiri, yang jika nantinya benar-benar hancur maka tak akan ada kesempatan lagi untuk memikirkan mode, orang lain yang tidak mengenal mereka, atau tivi. Yang ada nantinya hanya penyesalan tanpa batas. Aku sungguh tak ingin membayangkan saat-saat itu.
Padahal sudah begitu banyak peringatan-peringatan di depan hidung mereka sendiri. Aku sendiri teramat gundah tiap kali mengintip ke salah satu ruang guru untuk menyaksikan acara tivi yang menampilkan bencana-bencana seperti tsunami, angin ribut, tanah longsor, banjir yang bahkan terjadi di musim kemarau, kekeringan, kebakaran hutan, sampai mencairnya es di kutub. Fakta-fakta itu memang mulai membuka mata mereka, membangunkan sebagian dari mereka dari tidur lelap bertahun-tahun. Kebijakan-kebijakan baru disusun, konferensi-konferensi bermisikan penyelamatan bumi digelar, dan organisasi-organisasi ‘hijau’ dibentuk. Tapi, berapa banyak dari mereka yang masih mengacuhkan bukti-bukti yang telah disodorkan alam itu? Aku melihatnya sendiri, hanya satu dari sekian ratus siswa di sekolah ini yang tanggap pada nasib bumi. Yang lain hanya menyaksikan bencana-bencana itu layaknya menonton acara sinetron, kepekaan mereka semakin padam seiring meningkatnya frekuensi munculnya bencana yang mereka saksikan.
Aku kembali memperhatikan si gadis kecil. Kini ia duduk bersandar di bawah naungan daun-daunku yang rindang, seusai membereskan pekerjaannya. Aku memandangnya takjub sambil mensyukuri keajaiban Tuhan yang telah mengutus insan berakhlak mulia seperti dirinya ini. Ini adalah bukti kemurahan hati-Nya, menciptakan sang penegak kebajikan di antara ribuan perusak. Harapan untuk hidup yang lebih baik ternyata belum benar-benar lenyap. Diam-diam aku mengharap pada Sang Ilahi agar semakin banyak Jamilah-Jamilah lain yang dilahirkan dari manusia. Kuucapkan do’a itu dengan setulus-tulusnya. Lagi kupikir, itu juga yang menjadi harapan makhluk lain yang mulai merasakan derita bumi, layaknya diriku.
Kudengar dering bel sekolah berbunyi, membuat Jamilah beranjak menjauh dariku. Aku melepas kepergiannya dengan senyum, diiringi gugurnya buah-buah asem yang telah masak dari batangku, yang kemudian menimpa aspal di bawahku dengan suara keras. Suara itu menyakitkan bagiku, membuatku terkenang masa-masa lalu di mana buahku tak pernah jatuh dengan menimbulkan suara karena ada tanah lembut yang menangkap jatuhnya, bukan aspal.
Namun, semangat seorang Jamilah akan terus menjadi motivasi bagiku. Aku tak akan berhenti berharap selama gadis kecil sepertinya saja mampu berbuat sesuatu untuk bumi kami tercinta. Aku bisa membayangkan hari esok yang lebih hijau, hari esok di mana kawan-kawan Jamilah akhirnya mau mendengarkan gadis kecil itu, hari esok di mana akhirnya ada percakapan mengenai lingkungan yang bisa kudengar dari mereka yang duduk dengan meminjam naunganku, hari esok di mana tak perlu lagi ada orang yang tidak sengaja menjadi pembunuh dengan membuang sampah ke sungai, hari esok di mana aku memilki kawan-kawan baru lagi, hari esok di mana bencana di tivi bukan menjadi sekedar tontonan, hari esok di mana matahari tidak bersinar dengan menakutkan, dan hari esok di mana sakit yang diderita bumi akhirnya terobati. Entah kapan hari itu tiba, tapi dengan mempercayainya dan melakukan sesuatu untuk mencapainya, hari esok itu bukanlah impian yang sia-sia.
Inilah kisahku, sebatang pohon asem tua di sebuah sekolah.
Aku tumbuh besar di lingkungan sebuah sekolah islami. Tanpa kusadari, aku telah menjadi simbol sekolah itu, menjadi saksi hidup perkembangannya dari masa ke masa. Usiaku sedikit lebih tua dari sekolah itu sendiri. Aku ingat benar masa kecilku, meski aku tak ingat lagi itu kapan, dan aku memang cenderung tak pernah menghitung waktu. Yang kutahu matahari acapkali terbit membawa hari yang baru, lalu terbenam kembali. Entah sudah berapa kali aku mengalami pergantian waktu seperti itu, yang pasti sebagian besar waktuku kuhabiskan bertasbih memuja Sang Khaliq.
Masa kecilku adalah masa-masa terbaik dalam hidupku, entah bagaimana itu bisa terjadi tapi sungguh aku malu dengan kenyataan itu. Bukankah hari esok seharusnya lebih baik dari sebelumnya? Namun, apalah dayaku. Aku hidup dengan segala keterbatasan, pasrah kepada Sang Khaliq yang menyerahkanku kepada sang khalifah di muka bumi. Akan menjadi apa aku, meski hakikatnya takdir Allah bekerja penuh atas diriku, adalah urusan para khalifah itu. Mereka adalah makhluk yang paling sempurna, diberi akal pikiran dan kemampuan untuk mengolah bumi demi kelangsungan hidup mereka dan bumi itu sendiri. Aku dan makhluk lain hidup untuk dikendalikan mereka, dengan senang hati berkorban demi tujuan mereka yang mulia, tapi tak jarang juga memendam sakit saat dipaksa merelakan diri guna memuaskan nafsu mereka yang tak tentu arah dan tujuannya.
Kembali ke masa kecilku. Saat itu, aku tumbuh begitu rapat dengan koloniku, membentuk hutan lebat yang sungguh menyejukkan mata. Aku kecil senang sekali menatap mereka yang jauh lebih tinggi dariku, mengagumi kekokohan tubuh mereka, memandangi ribuan daun yang me-rindangi mereka, dan akhirnya merasa tak sabar menunggu saat dewasaku tiba.
Sedikit di luar area kami, mengalir sungai jernih dengan beraneka makhluk di dalamnya hidup dengan penuh sukacita. Di pinggir sungai itulah, manusia-manusia membangun peradaban mereka yang pertama di daerah kami, yang pada masa kecilku itu mereka sudah mulai berkembang luas dengan lahan-lahan persawahan di sana-sini. Banyak manusia yang berdecak kagum saat mengunjungi rumah kami, menengadahkan kepala mereka ke arah pucuk-pucuk tertinggi kami, mengagumi kehijauan dan kesuburan kami. Dari bibir mereka terucap kata subhanallah yang tak henti-hentinya. Aku bahagia, tasbihku lebih sering berupa rasa syukur atas nikmat Allah yang luar biasa itu.
Namun, kehidupan seperti itu ternyata hanya diciptakan sangat singkat untukku. Belum lagi aku tumbuh besar, manusia-manusia itu mulai berubah pikiran. Mereka memutuskan untuk menjamah rumahku. Mereka berdalih dengan mengatakan butuh lebih banyak lahan demi anak cucu mereka yang kian hari kian berlipat jumlahnya. Sebagian besar dari kami yang telah cukup tua pun mengalah, merelakan diri ditebang guna menciptakan lahan kosong yang cukup luas bagi mereka untuk membangun rumah-rumah, masjid, sekolah, lapangan, dan juga lahan berternak.
Dalam sekejap rumah hijau kami telah lenyap. Aku dan sedikit kawanku yang tersisa tak tahu apakah kami harus merasa senang karena tak ikut menjadi tumbal. Belakangan, setelah kurenungkan, aku sadar bahwa kami yang tersisa tak punya hak untuk merasa sedih atau senang, yang kami punya hanyalah keinginan untuk menghijaukan bumi ini. Andai manusia-manusia itu bisa mendengar keluh-kesah kami.
Rumah baruku adalah sebuah sekolah madrasah pimpinan seorang kyai yang sangat taat pada ajaran agama. Beliau juga amat peduli pada lingkungan sekitarnya. Sekolah sederhana itu dibuatnya sejuk dengan aneka tumbuhan. Sebentar saja aku mendapat banyak kawan baru. Kami tumbuh subur bersama-sama, tapi tentu saja tak ada yang bisa mengalahkan tinggiku. Kesenangan baru itu mulai menentramkan hatiku kembali, mengubur angan-angan untuk kembali ke masa lalu. Aku terus bertasbih dengan rasa syukur yang berlipat ganda kepada Sang Maha Kuasa.
Sang kyai kemudian berpulang ke Rahmatullah, menyisakan kepedihan di antara kami. Aku tak putus-putus memohon ampunan baginya kepada Allah. Putra-putri sang kyai melanjutkan kepengurusan madrasah itu. Seiring berkembangnya teknologi dan meluasnya akses komunikasi, perubahan-perubahan pun tak dapat dielakkan. Mereka, putra-putri sang kyai, membagi-bagi madrasah itu menjadi unit-unit yang saling berbeda tahap dan metode pendidikannya. Kini, tidak hanya terdapat madrasah ibtidaiyah atau tsanawiyah misalnya, tetapi juga terdapat sd dan smp umum demi menarik lebih banyak minat warga-warga pendatang yang rupanya memiliki pola pikir aneh dengan menganggap kolot sebuah sekolah dengan embel-embel madrasah.
Bukan hanya sistem sekolah itu yang mulai kacau, kawan-kawanku pun bertumbangan satu demi satu. Hanya aku yang bertahan dengan kekokohan tubuhku. Hatiku miris menyaksikan lahan hijau yang makin berkurang di sekolah ini demi bangunan-bangunan kelas baru. Lapangan di sisi baratku sudah terlumat habis jauh-jauh hari saat mereka membangun musholla, yang sebenarnya sudah terwakili fungsinya dengan kehadiran masjid besar persis di depan gerbang sekolah. Mereka tak berhenti sampai di situ, kreasi-kreasi baru terus lahir hingga tak tersisa sejangkal tanah lagi kecuali sedikit sekali di sepanjang gerbang, yang sengaja disisakan untuk tanaman-tanaman kecil.
Dan siang ini, aku sedang menatap cahaya silau milik matahari dengan perasaan galau. Aku bisa merasakannya, matahari belakangan ini terasa sangat berbeda dengan yang dulu kukenal. Aku memang membutuhkannya demi proses produksi di dapur hijauku, tapi aku juga takut sinar yang makin terang itu merusak persediaan airku. Ditambah dengan tugas berat memerangi populasi yang makin merajalela dari hari ke hari, masa tuaku sungguh bukan idaman siapa pun. Jauh dari yang bisa dibayangkan, atau malah tak pernah terperkirakan oleh leluhurku.
Perhatianku mendadak dialihkan oleh kemunculan seorang gadis kecil berkerudung putih yang manis. Aku mengenalnya, dan bagiku kehadirannya bagaikan setetes embun di tengah gurun pasir. Namanya Jamilah, yang secara tepat menggambarkan hatinya. Ia menatapku dengan senyum manis, membelai tubuh kokohku dengan lembut, lalu menatap sekelilingku. Tak perlu waktu lama baginya untuk menyadari betapa banyak kawan-kawannya yang telah seenaknya membuang sampah, tak mengindahkan tegurannya selama ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. Kemudian, dengan cekatan dia mulai memunguti sampah itu satu demi satu dan membuangnya ke tempat sampah yang sebenarnya tersedia tak jauh dari tempatku. Ia memang belum pernah sungguh-sungguh mengatakannya padaku, tapi aku tahu benar bahwa ia sedang menjalankan misi mengembalikan manusia ke fitrahnya sebagai khalifah bumi, bukan sebaliknya menjadi perusak. Dan ia tidak pernah menyerah menjalankan misinya, meski semelelahkan apa pun usaha yang ia lakukan itu.
Gadis kecil itu patut menjadi panutan di sekolah ini, tak heran jika ia disenangi semua makhluk sekolah, entah itu para guru, sebagian kecil kawan-kawannya, aku, atau bahkan burung-burung gereja yang suka hinggap di batangku. Aku menemukan perbedaan jauh antara dirinya dengan kebanyakan kawan-kawannya. Mereka, yang sering duduk dalam naunganku, tak henti-hentinya berceloteh soal dunia yang tak jelas faedahnya. Mereka lebih suka membicarakan mode, mempermasalahkan kehidupan artis yang bahkan sebenarnya tak pernah merasa butuh perhatian mereka, atau membahas ulang acara tivi yang baru mereka saksikan semalam. Mereka cenderung meremehkan hal-hal yang sebenarnya penting.
Aku sangsi apakah mereka pernah sedikit saja memikkirkan bahaya-bahaya dari tindakan sembrono yang menurut mereka sepele. Membuang sampah ke sungai, misalnya, tanpa disadari bisa menjadi kejahatan yang sangat besar bagi pelakunya. Sampah membuat sungai meluap saat musim penghujan tiba sehingga banjir melanda dan tak jarang memakan korban nyawa. Itu semua sebenarnya tak lepas dari tanggungjawab si pembuang sampah. Anehnya, mereka tak pernah menyesali perbuatan itu, yang kebanyakan disebabkan keengganan mereka untuk berpikir sebelum bertindak. Atau, terlalu sibukkah mereka untuk melakukan hal itu?
Sejauh yang kudengar, tak terlintas sedikit pun kecemasan dalam obrolan mereka mengenai nasib bumi mereka sendiri, yang jika nantinya benar-benar hancur maka tak akan ada kesempatan lagi untuk memikirkan mode, orang lain yang tidak mengenal mereka, atau tivi. Yang ada nantinya hanya penyesalan tanpa batas. Aku sungguh tak ingin membayangkan saat-saat itu.
Padahal sudah begitu banyak peringatan-peringatan di depan hidung mereka sendiri. Aku sendiri teramat gundah tiap kali mengintip ke salah satu ruang guru untuk menyaksikan acara tivi yang menampilkan bencana-bencana seperti tsunami, angin ribut, tanah longsor, banjir yang bahkan terjadi di musim kemarau, kekeringan, kebakaran hutan, sampai mencairnya es di kutub. Fakta-fakta itu memang mulai membuka mata mereka, membangunkan sebagian dari mereka dari tidur lelap bertahun-tahun. Kebijakan-kebijakan baru disusun, konferensi-konferensi bermisikan penyelamatan bumi digelar, dan organisasi-organisasi ‘hijau’ dibentuk. Tapi, berapa banyak dari mereka yang masih mengacuhkan bukti-bukti yang telah disodorkan alam itu? Aku melihatnya sendiri, hanya satu dari sekian ratus siswa di sekolah ini yang tanggap pada nasib bumi. Yang lain hanya menyaksikan bencana-bencana itu layaknya menonton acara sinetron, kepekaan mereka semakin padam seiring meningkatnya frekuensi munculnya bencana yang mereka saksikan.
Aku kembali memperhatikan si gadis kecil. Kini ia duduk bersandar di bawah naungan daun-daunku yang rindang, seusai membereskan pekerjaannya. Aku memandangnya takjub sambil mensyukuri keajaiban Tuhan yang telah mengutus insan berakhlak mulia seperti dirinya ini. Ini adalah bukti kemurahan hati-Nya, menciptakan sang penegak kebajikan di antara ribuan perusak. Harapan untuk hidup yang lebih baik ternyata belum benar-benar lenyap. Diam-diam aku mengharap pada Sang Ilahi agar semakin banyak Jamilah-Jamilah lain yang dilahirkan dari manusia. Kuucapkan do’a itu dengan setulus-tulusnya. Lagi kupikir, itu juga yang menjadi harapan makhluk lain yang mulai merasakan derita bumi, layaknya diriku.
Kudengar dering bel sekolah berbunyi, membuat Jamilah beranjak menjauh dariku. Aku melepas kepergiannya dengan senyum, diiringi gugurnya buah-buah asem yang telah masak dari batangku, yang kemudian menimpa aspal di bawahku dengan suara keras. Suara itu menyakitkan bagiku, membuatku terkenang masa-masa lalu di mana buahku tak pernah jatuh dengan menimbulkan suara karena ada tanah lembut yang menangkap jatuhnya, bukan aspal.
Namun, semangat seorang Jamilah akan terus menjadi motivasi bagiku. Aku tak akan berhenti berharap selama gadis kecil sepertinya saja mampu berbuat sesuatu untuk bumi kami tercinta. Aku bisa membayangkan hari esok yang lebih hijau, hari esok di mana kawan-kawan Jamilah akhirnya mau mendengarkan gadis kecil itu, hari esok di mana akhirnya ada percakapan mengenai lingkungan yang bisa kudengar dari mereka yang duduk dengan meminjam naunganku, hari esok di mana tak perlu lagi ada orang yang tidak sengaja menjadi pembunuh dengan membuang sampah ke sungai, hari esok di mana aku memilki kawan-kawan baru lagi, hari esok di mana bencana di tivi bukan menjadi sekedar tontonan, hari esok di mana matahari tidak bersinar dengan menakutkan, dan hari esok di mana sakit yang diderita bumi akhirnya terobati. Entah kapan hari itu tiba, tapi dengan mempercayainya dan melakukan sesuatu untuk mencapainya, hari esok itu bukanlah impian yang sia-sia.
Inilah kisahku, sebatang pohon asem tua di sebuah sekolah.